Kincir ria raksasa itu masih sekitar setengah putaran ketika lampu-lampu padam. Dipadamkan, tepatnya.
Lagi-lagi dia telah dilupakan.Â
Nugie duduk di tengah bangku dan menatap keluar. Lampu-lampu kota menyebar bagai hamparan kepingan pecahan kaca di di bawah seakan sesuatu yang harus dia lupakan. Sebagai gantinya, dia berjuang untuk melawan kehendak kuat yang tiba-tiba muncul untuk kencing.
Nugie ingat semua tempat di mana dia terkunci saat jam tutup. Bioskop di Bandung, mal di Melaka, kebun binatang Singapura, akuarium Laut di Sidney, di antaranya. Setidaknya di sana dia bisa buang air kecil tanpa khawatir.
Dia menghela napas panjang mencari-cari wadah yang cocok. Tidak ada yang yang lebih baik selain botol plastik air mineral setengah kosong dari tasnya.Â
Nugie membidik. Sepatu dan sebagian celananya kecipratan air seninya.
Dia mengatupkan tutup botol kembali, menyeka sepatunya dengan tisu, lalu menggoyang-goyangkan celananya yang lembab dan mulai memikirkan apa yang akan dilakukan kemudian.
Satu jam berlalu digunakannya untuk menandai sejumlah landmark dari bentuk siluet di kejauhan. Lampu sorot dari puncak menara tempat helipad, mercusuar yang berkedip menjadi titik awal yang baik. Kapal-kapal kargo yang berlayar perlahan menjauhi pelabuhan tampak seperti model mainan. Satu jam berikutnya dihabiskannya merenung tanpa menyentuh lantai dengan kakinya. Dia mencari-cari makanan dalam kantongnya, ketika lampu kapsul menyala dan derak bunyi roda kembali berputar.
"Kami minta maaf!" seru petugas ketika dia menginjak permukaan tanah. "Belum pernah kami meninggalkan seseorang di dalam wahana sebelumnya."
"Kamu ingat aku?"