Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Jadi Pengarang Itu Berat

23 Mei 2019   14:49 Diperbarui: 23 Mei 2019   15:16 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata Mas Wendo mengarang itu gampang! Mengapa kamu bilang berat?

Yang aku bilang: JADI pengarang itu berat, BUKAN mengarang itu berat. Ketika tulisanmu dibukukan, kamu bukan (hanya) penulis (writer) lagi, tapi sekaligus pengarang (author). Baik bukumu diterbitkan oleh penerbit arusutama atau indie yang berhasil menjual 1 copy kepada penjual bubur sumsum yang kamu ancam akan unreg dari daftar pelanggannya jika menolak dibayar dengan buku, gelar pengarang buku akan melekat seumur hidup di curriculum vitae.

Beratnya di mana?

Jika bukumu dicetak dan dipasarkan oleh penerbit, maka kamu harus PERCAYA 100% pada penerbit berapa copy yang sudah terjual. Kamu harus pasrah sepasrah-pasrahnya, termasuk ketika bukumu yang best seller atau nyaris best seller berada di tumpukan buku obral. Jika sudah begini, harga secangkir cappucino lebih mahal dari tiga copy bukumu.

Dan jika novelmu difilmkan atau disinetronkan, maka levelmu sudah sama dengan selebriti. Saat ke WC di mal orang-orang akan memandangmu, membuntuti karena ingin tahu apakah tititmu sama saiz-nya dengan punya tokoh novelmu.

Orang-orang akan kepo tentang kamu, sampai mereka akan tahu tentang dirimu melebihi pengetahuan kamu tentang dirimu sendiri. Mereka akan membongkar twit kamu untuk menemukan bahwa tujuh tahun lalu kamu pernah mencret-mencret tiga hari tiga malam gara-gara minum obat diare yang kedaluwarsa. Padahal kenangan pahit itu sudah kamu benamkan dalam-dalam di jurang alam bawah sadar dunia lain.

Membuat kamu ingin menghapus akun media sosial sialan itu, tapi mendadak sadar bahwa kamu terikat kontrak dengan penerbit yang mengharuskan kamu atau sekretarismu meintein semua media sosial yang tercantum di sampul belakang buku-bukumu.

Wajar manusia ingin menjadi terkenal, bukan?

Sangat wajar. Tetapi seringkali apa yang inginkan, begitu kita dapatkan ternyata tidak sesuai dengan harapan kita. Ketenaran mungkin menghasilkan kekayaan. Tapi jika harta bisa hilang, nama tenar akan selalu dikenang. Setidaknya, akan ada yang selalu ingat bahwa kita pernah tenar.

Begitu menjadi ngetop, waktumu akan terkuras untuk pesta-pesta, pertemuan, seminar, promosi dan hal-hal yang membuat kamu tak sempat lagi mengarang. Memang kamu tidak perlu lagi memikirkan bagaimana esok, setidaknya jika kamu mengelola royalti dengan baik. Namun, untuk menghasilkan karangan berikutnya akan semakin sulit karena waktumu di makan rayap kemasyhuran.

Tapi apapun yang terjadi terhadap raga dan jiwamu, kamu tidak ingin dan tidak boleh berhenti mengarang, dan beban itu menjadi semakin berat karena akan selalu ada yang mengadu domba karya terbarumu dengan buku-buku sebelumnya.

Tekanan itu bisa membuatmu gila. Tapi seringkali 'gila'itu bagus. Makanya lebih baik majenun duluan sebelum majenun beneran.

Marlyn Monroe pernah berujar, "Ketenaran itu seperti kaviar: enak untuk dimakan, tapi tidak untuk disantap setiap saat".

Berapa banyak pengarang masyhur yang kemudian mandul dalam berkarya? Tidak terhitung, dan aku tak ingin menyebutkan nama di sini.

Apa lagi yang membuat jadi pengarang itu berat?

Tak perlulah aku menyampaikan hal-hal klise. Jika bukumu tak laku, kamu akan frustasi. Jika bukumu laris, pada akhirnya kamu akan frustasi juga. Frustasi yang disebabkan banyak hal, banyak tekanan. Baik dari dalam dirimu sendiri atau tekanan dari lingkungan.

Jadi menurutmu, sebaiknya orang berhenti bermimpi untuk jadi pengarang?

Kamu kira hidup ini tak berat? Apa karena itu terus kita harus berhenti hidup? Justru karena berat makanya harus dijalani. Teruskan saja menulis. Terus saja mengarang hingga beratnya berkurang. Begitu saja.

Satu lagi: apa itu kaviar?

Meneketehe! Aku kan belum ngetop!

dokpri
dokpri

Banda Aceh, 7 Mei 2018

(Kang Pidi Baiq, maap kalau dijadikan ilustrasi oleh saya. Anggap saja ini piksi)

Photographs Ikhwanul Halim (ayahkasih)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun