Mikaila berada di tepi danau, melelehkan es yang membuat jarak di antara kami. Dia menari mendekat dan kemudian melesat pergi, mengangkat kepulan uap yang menyembunyikan kami dari tetangga kami. Dia tak diam cukup lama untuk membuatku panas, dan aku tidak pernah cukup lama mendekat untuk memadamkan apinya.
Ada saatnya kami melakukan kontak fisik yang sangat panas diselingi oleh pendinginan. Uapku bercampur dengan asapnya dan kami menggantung bersama-sama, melayang di udara sampai aku mengembun menjadi tetesan hujan dan jatuh kembali ke air danau yang sejuk.
***
Anak-anak mambang api biasanya lahir dengan mudah dari nyala api ibu mereka, tetapi Mikaila berjuang menyabung nyawa saat melahirkan putra kami. Adanya unsur air mengubah sihir melahirkan mambang api, hal yang seharusnya kami pikirkan sebelumnya.Â
Kelahiran itu menghabiskan terlalu banyak energi dan oksigen di udara pegunungan tipis. Seharusnya Mikaila bersalin di dataran yang lebih rendah. Satu kesalahan yang luput dari kehati-hatian kami, dan hanya itu yang diperlukan.
Mikaila sekarat.
Dia membungkus putra kami dalam awan asap dan membawanya ke danau. Nyala api menari-nari di permukaan air, terlalu lemah sekarang untuk membakarku. Dia menggendong putra kami, dan aku memeluk mereka berdua.
Api Mikaila padam. Dia biasa berkedip dan hilang, jadi untuk sesaat aku menunggunya muncul kembali. Namun dia tidak pernah kembali. Mikaila pergi untuk selamanya.
Putra kami bersinar terang dan memancarkan hawa panas, mengamuk atas kehilangan ibunya. Aku sungguh khawatir dia akan berkedip dan hilang, tetapi dia kuat dan muda. Dia memiliki kekuatanku dan ibunya.
Aku membasuhnya dengan air mata, tetapi dia memiliki semangat ibunya dan dia menggeliat bebas dan berenang mengelilingi danau. Dia menelan seteguk air dan meniupnya sebagai semburan uap. Keajaiban yang aku dan Mikaila harus lakukan berdua, diciptakan oleh putra kami sendiri saja.
Dan suatu hari, dia mengalir ke laut. Saat matahari terbenam dia berubah menjadi nyala api ungu kebiru-biruan, menari-nari di pucuk tiang-tiang kapal, menandakan badai akan segera berlalu. Namun kenangan akan ibunya tetap hidup menari dalam cahaya api kuning merah kesumba, memantul cemerlang di permukaan danauku.