Ayah Mikaila datang dan mendengar pernyataanku. Dia terbakar amarah sehingga air telaga mendidih dan tinggal setengah. Mikaila meraih tangan ayahnya dan mereka berkedip-kedip hilang dari pandangan.
Aku menyelam untuk memeriksa ibuku dan merasa lega menemukannya di dasar telaga, ketakutan tapi tak terluka. Dia memintaku untuk menjauhi Mikaila, tetapi aku tak mampu menjawab. Jawaban yang ingin didengarnya adalah hanya akan menjadi kebohongan belaka.
***
Mikaila mengusulkan agar kami melarikan diri, menitipkan pesan  melalui mambang udara. Mikaila berubah menjadi kepulan asap di permukaan telaga. Dia melintas dari pohon ke pohon dan aku melompat dari awan ke awan, melarikan diri melintasi hutan dan naik ke pegunungan.
Kami berhenti di sebuah danau es yang dikelilingi oleh pohon cemara. Aku mengirim badai kepada ibu, dan terkejut bahagia ketika dia mengirimi kami rinai gerimis pertanda merestui cinta kami. Mikaila mengirimi orangtuanya petir, tetapi mereka tidak pernah membalas pesannya.
***
Karena udara pegunungan yang tipis, api Mikaila lebih banyak bercahaya kuning redup daripada merah kesumba. Dia meyakinkanku bahwa kebersamaan kami layak ditukar dengan sedikit kekuatannya. Aku setuju saja.Â
Sihirku terhambat oleh es di sekitar tepi danau, tapi setidaknya kami bersama. Danau itu sangat terpencil . Tetangga kami satu-satunya adalah sepasang mambang udara lanjut usia yang hilir mudik di atas danau, berpelukan satu sama lain dengan eratnya sehingga tak sempat memperhatikan kami.
***
Ini adalah tarian yang aneh bin ajaib, ketika air menyukai api.
Kami harus berhati-hati, tetapi sejak kapan cinta takut menghadapi hal-hal sekecil itu? Bukan mereka yang saling mencinta tetapi mempertimbangkan apa yang dibutuhkan oleh pasangannya? Aku menahan diri untuk tidak membiarkan nyala api menguapkanku habis. Diriku selalu sabar dan hati-hati.