Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marak Berkotak Bersama Wedha

25 Oktober 2017   21:57 Diperbarui: 25 Oktober 2017   22:27 4765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Rasanya kita pernah ketemu," lelaki dengan rambut perak itu menyapa Joko Pinurbo yang duduk di kursi di sisiku.

Dalam hatiku: siapa yang tak kenal Joko Pinurbo?

Lagi hatiku bertanya: rasanya aku pernah melihat dia. Tapi di mana?

"Maaf, namanya siapa?" tanyanya lagi.

"Joko Pinurbo. Di mana kita pernah jumpa, ya?"

 "Pantes! Tahun 2002, majalah..." Tak begitu jelas nama majalah yang disebutkan pria baya itu.

"Oh, betul! Sekarangnya majalahnya sudah tutup. Nama Bapak?"

"Wedha. Saya ilustrator."

 "Oalaaah!" Joko Pinurbo bangkit untuk menyalami beliau. Aku juga bangun ikut menyalami pria kurus itu. Tas kulit Oemar Bakri van voor de oorlog tak lepas dari tangannya.

Sialan. Hari ini kok ketemu para maestro?

 Jika sebelumnya kami bertiga: Joko Pinurbo, seorang aktivis perempuan teman Joko Pinurbo yang namanya aku lupa-soal mengingat nama aku serupa Dori si ikan-kini jadi empat. Tak jauh dari payung taman tempat kami duduk, tante Titik Puspa sedang berbgai ilmunya di pentas Kompasianival 2017, Lippo Mall Kemang.

 Obrolan gayeng mengalir. Nostalgia tentang majalah yang kini banyak kolaps, para pengarang zaman eighties yang kini menempuh jalan masing-masing, hingga situasi sastra dan nasib seniman kini. Dan sampailah kepada soalan yang menjadi tanda tanya seniman dan yang mengaku seniman seperti saya:

"Mas Wedha kok menggratiskan WWAP, padahal sudah capek-capek mengurus hak cipta?" tanya Joko Pinurbo mendahului saya.

"Aku mengurus hak cipta supaya karyaku diakui. Dan supaya karyaku berguna, maka aku menggratiskannya. Toh, biarpun aku gratiskan, mobilku terus bertambah."

Jangkrik opo jangkrik?

Aktivis perempuan teman Joko Pinurbo juga undur diri hendak mengikuti talk show tante Titik Puspa. Mungkin. Tapi aku rasa dia tak tahan dengan asap rokok mas Wedha.

Dari sudut mata, aku menangkap kehadiran Kang Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana sedang dirubung banyak orang tak jauh dari tempat kami duduk.

"Sebentar," kataku kepada kedua maestro itu.

Bergegas aku menemui Kang Pepih.

"Kang, ada Joko Pinurbo dan Wedha," bisikku sambil menarik tangannya menjauh dari kerumunan yang melongo melihat kemajenunanku.

Pembicaraan mereka bertiga lagi-lagi tak jauh dari nostalgia masa lalu namun tetap aktual untuk zaman now. Bisa dimaklumi, karena mereka maestro. Peranku di sini sebagai figuran numpang lewat dalam filem perang kemerdekaan: muncul 3 detik sebagai mayat yang mati tertelungkup dengan lubang peluru menganga di punggung.

Majenun dan maestro (dok. pri)
Majenun dan maestro (dok. pri)
Kang Pepih pamit untuk menemani keluarganya mengikuti acara, dan berjanji untuk kembali. Seorang dari media datang hendak mewancarai Joko Pinurbo. Sang penyair celana dan sarung pindah ke bawah payung lain.

Tinggallah aku dengan ilustrator legendaris yang punya andil besar mewarnai masa remajaku.

"Aku ini tamatan teknik," cerita mas Wedha.

"Sebetulnya aku ingin menjadi perupa," sambungnya.

Dan ia bercerita tentang ambisinya saat meninggalkan kampung halaman di Pekalongan menuju ibukota. Tentang bagaimana ketka ia mencoba menjadi komikus dan mengantarkan jilid pertama komiknya ke sebuah penerbitan di bilangan Benhil, menjumpai sang penerbit kondang yang sedang menggiling sendiri mesin cetak.

"Letakkan saja di situ," ujarnya menunjuk meja. Wedha muda bingung.

"Kalau masih belum punya nama, honornya sekian. Kalau sudah panya nama seperti Yan Mintaraga, bisa sekian,"

Mata Mas Wedha menatap ke dinding yang membatasi Lippo Mall Kemang dengan tetangga sebelah. Apakah dia mengenang komiknya yang tak pernah diterbitkan itu?

"Saat itu bukan jumlah honor yang jadi masalah. Tapi aku ingin dia melihat komikku. Memberi kritik dan saran."

Wedha muda menyambar lembar-lembar yang terjilid di atas meja dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Dan tak lama kemudian dia bekerja di grup penerbit besar di Kebun Kacang dan juga Pal Merah Barat. Tak terhitung berapa banyak coretannya telah menjadi merek dagang. Ingat Lupus?

"Semua karyaku tersimpan rapi," katanya, membuat sebuah gedung museum pop art dengan namanya tumbuh di anganku.

Dari tas kulit Oemar Bakri van voor de oorlog, dikeluarkannya karya 'kubisme' pertamanya, potret wajah Michael Jackson. Juga kertas kuning kecoklatan di-laminating: dua perhargaan semasa kelas empat SD di Pekalongan.

"Ada dua lomba saat itu, satu dikerjakan di rumah dn satu lagi di lokasi lomba. Dua-duanya aku juara satu," katanya datar.

"Tapi beberapa hari kemudian ada pelatihan menggambar yang pesertanya orang dewasa. Aku diminta jadi pengajar," tawanya renyah.

Dia juga bercerita tentang persahabatannya dengan para penulis yang masih berjaya hingga zaman sekarang.

"Tapi meski sahabat, ada yang permintaannya untuk membuat ilustrasi cover novelnya kutolak. Idealismenya sudah luntur," katanya sambil tersenyum jenaka. Yang dia maksud adalah salah satu penulis idolaku. Tapi itu dulu.

"Aku ini lelaki panggilan, sesuai order. Kadang di bayar, kadang enggak." Ia diminta mengisi acara di pentas membicarakan seni grafis, sebentar lagi. Sesuai tema acara "Kolaborasi Generasi", Mas Wedha mewakili angkatan sebelum generasi milenial.

Seseorang dari panitia datang,

Sebentar lagi pak Wedha akan tampil, mungkin sebaiknya bincang-bincang dulu dengan moderator, katanya.

Dia menghabiskan kopinya. Kopi Joko Pinurbo sendirian di atas meja, masih penuh. Entah kemana pula maestro puisi itu.

Aku ikut bangun dan menemani mas Wedha menuju resto yang menjadi ruang diskusi moderator dan narasumber. Di tengah jalan, mas Thamrin Sonata, penerbit buku-bukuku yang juga merupakan sahabat mas Wedha mencegat kami.

Sambil berdiri, terjadi lagi sharing nostalgia. Mungkin hanya semenit, tak lebih. Namun wajah panitia ditekuk seratus tujuh puluh sembilan derajat tanda tak sabar menunggu Mas Wedha mengikuti langkahnya.

Dasar maestro, mereka malah meminta sang panitia yang kelihatan lelah lahir batin untuk memotret kami bertiga. Sore itu, kotak warna-warni menguasai darat dan langit Jakarta.

penulis, ilustrator, penerbit (dok. pri)
penulis, ilustrator, penerbit (dok. pri)
Saat kami berpisah, aku baru sadar bahwa kami (aku dan istri) belum check-in hotel. Risiko dibatalkan pihak hotel selalu ada, mengingat sebentar lagi malam minggu.

Sambil mencari istriku di antara kerumunan peserta Kompasianoval itu, aku teringat resolusi tahun baru yang belum tuntas: menerbitkan novel.

Kalau saja ada penerbit mayor atau sponsor yang bersedia membiayai proyek novelku, syarat yang aku ajukan adalah:

Ilustrator sampul mesti lelaki kurus berambut keperakan bernama Wedha Abdul Rasyid.

 

Bandung, 25 Oktober 2017

Catatan: tulisan ini sepenuhnya berdasarkan ingatan penulis. Mungkin kurang akurat. Tanpa berniat bohong, intinya tetap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun