Tinggallah aku dengan ilustrator legendaris yang punya andil besar mewarnai masa remajaku.
"Aku ini tamatan teknik," cerita mas Wedha.
"Sebetulnya aku ingin menjadi perupa," sambungnya.
Dan ia bercerita tentang ambisinya saat meninggalkan kampung halaman di Pekalongan menuju ibukota. Tentang bagaimana ketka ia mencoba menjadi komikus dan mengantarkan jilid pertama komiknya ke sebuah penerbitan di bilangan Benhil, menjumpai sang penerbit kondang yang sedang menggiling sendiri mesin cetak.
"Letakkan saja di situ," ujarnya menunjuk meja. Wedha muda bingung.
"Kalau masih belum punya nama, honornya sekian. Kalau sudah panya nama seperti Yan Mintaraga, bisa sekian,"
Mata Mas Wedha menatap ke dinding yang membatasi Lippo Mall Kemang dengan tetangga sebelah. Apakah dia mengenang komiknya yang tak pernah diterbitkan itu?
"Saat itu bukan jumlah honor yang jadi masalah. Tapi aku ingin dia melihat komikku. Memberi kritik dan saran."
Wedha muda menyambar lembar-lembar yang terjilid di atas meja dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Dan tak lama kemudian dia bekerja di grup penerbit besar di Kebun Kacang dan juga Pal Merah Barat. Tak terhitung berapa banyak coretannya telah menjadi merek dagang. Ingat Lupus?
"Semua karyaku tersimpan rapi," katanya, membuat sebuah gedung museum pop art dengan namanya tumbuh di anganku.
Dari tas kulit Oemar Bakri van voor de oorlog, dikeluarkannya karya 'kubisme' pertamanya, potret wajah Michael Jackson. Juga kertas kuning kecoklatan di-laminating: dua perhargaan semasa kelas empat SD di Pekalongan.