Evanston adalah sebuah kota yang terletak di tepi Danau Michigan, Amerika Serikat. Bersinggung tapal batas dengan Chicago tepat di selatan. Didirikan pada tahun 1836. Luas wilayah 20,2 km². Menurut sensus tahun 2013, jumlah penduduknya 75.570 jiwa. Aku belum pernah ke sana.
Lha... Ngapain judulnya “Dari Peunayong ke Evanston”?
Karena Markas Rotary International terletak di kota tersebut, dan aku adalah Charter President (Presiden Pendiri) Rotary Club of Banda Aceh, Rotary Club pertama di Tanah Rencong.
Demikian jawaban untuk pertanyaan WHAT, kalau ada.
Untuk menjawab How Why Who When, perlu kalimat-kalimat yang panjang.
***
Aku termasuk generasi awal kutubuku penggemar Star Trek. Di ibu kota provinsi yang kecil bernama Banda Aceh, tidak sedikit yang menggemarinya. Namun jika umumnya orang lain menjadikan serial televisi tersebut sebagai hiburan, aku menanggapinya dengan sangat serius.
Ketertarikanku bukan hanya pada ide teknologinya yang kemudian mengantarku ke jurusan Teknik Nuklir Fakultas Teknik UGM, tapi juga ide sosial masyarakatnya bahwa di masa depan MANUSIA BUMI BERSATU.
Apakah artinya kamu kehilangan ikatan primordial?
Dalam arti luas: YA. Dalam arti sempit: YA dan TIDAK. Meski tak menyukai sepak bola, aku mendukung PERSIRAJA—dan belakangan PERSIB. Silaturahim dengan teman-teman alumni sekolah tetap terjaga. Setiap tanggal 19 Desember, aku selalu ingat bahwa UGM merayakan DIES NATALIS-nya. Air mataku menggenang bahagia saat Indonesia Raya berkumandang mengiringi berkibarnya Sang Saka Merah Putih di event-event internasional. Tapi jika ada yang berselisih dan memintaku menjadi penengah, keputusanku berdasarkan hak dan kewajiban, kejujuran dan kebenaran; bukan berdasarkan siapa yang mempunyai hubungan terdekat denganku.
Apa hubungannya dengan Rotary International?
Dulu, Greenpeace di benakku adalah organisasi rahasia yang bertujuan menyelamatkan dus menyatukan planet ini. Ketika MSF (Médecins Sans Frontières, Dokter Tanpa Batas) mendapat perhargaan Nobel tahun 1999, aku merasa cita-cita SATU BUMI bukan hal yang mustahil. Perkenalanku dengan buku-buku Alvin Toffler:Future Shock dan Third Wave menguatkan keyakinanku. Alvin Toffler membuatku siap menghadapi globalisasi.
Mei 2005, aku pulang ke Aceh untuk bekerja sebagai IT expert di sebuah LSM kecil asal Kanada. Selain orang-orang lokal, aku juga berkenalan dengan ekspatriat pegiat sosial dari berbagai penjuru dunia dan bermacam-macam organisasi kemanusiaan.
Suatu sore, salah seorang mitra kerja bernama Natascha bertanya:
“Oel, would you join me into Rotary?”
“What is Rotary?” tanyaku lugu.
(Selanjutnya terjemahan bahasa Indonesia, repot mengingat-ingat versi aslinya)
“Sekelompok orang-orang yang ngumpul-ngumpul ngopi seminggu sekali, ngobrol tentang pekerjaan kemanusiaan,” jawabnya enteng. Setidaknya begitulah maknanya yang kutangkap.
“Oke,” jawabku.
Singkat saja. Pertemuan pertama dilaksanakan di sebuah kafe dengan dihadiri perwakilan Rotary District, terdata nama-nama yang berminat bergabung dengan Rotary Club of Banda Aceh yang akan didirikan. Pertemuan berikutnya, Natascha yang seharusnya menjadi Charter President berpamitan: harus pulang ke Inggris untuk urusan keluarga.
Calon Charter President diestafetkan ke Linda, seorang ekspatriat juga, berikut President Club Manual Book yang setebal bantal tidur baru beli dari toko furnitur. Pada pertemuan ketiga, Linda menyerah, katanya karena membaca buku tersebut membuat kepalanya sakit.
Setelah beberapa lama tak ada kabar berita, aku—si kutukomputer kurang gaul butuh ngopi di kafe—menghubungi perwakilan District menanyakan bagaimana kelanjutan dengan rencana pendirian RCBA, singkatan dari Rotary Club of Banda Aceh. Justru yang aku terima adalah tantangan menjadi pendiri. Siapa takut?
Mulailah aku mengumpulkan orang-orang, karena untuk membangun sebuah Rotary Club di butuhkan minimal 25 anggota pendiri. Done.
Kuota halaman Anda sudah hampir habis. Apa tujuan Anda membawa-bawa Rotary dalam tulisan ini?
Tidak ada niat membela Rotary dari prasangka orang-orang. Biarlah fakta yang berbicara. Rotary International menginisiasi dan mensponsori Polio Day untuk mengeradikasi virus polio dari muka bumi. Begitu juga dengan gerakan literasi, air bersih untuk semua, perdamaian dunia, sampai mencuci tangan dengan sabun. Masih banyak tindakan baik Rotary yang tak dapat disebutkan satu per satu.
Yang aku ketahui pasti, Rotary adalah organisasi kebhinekaan pertama di dunia. Aku pernah terkejut ketika seorang anggota MSF secara tak sadar menunjukkan padaku betapa terkotak-kotaknya organisasi ‘tanpa batas’ satu profesi tersebut berdasarkan wilayah negara. Prinsip dasar antar bangsa ‘Rotary International’ (dengan emphasis pada ‘International’) adalah menghormati hubungan antar bangsa dan negara. Rotarian (sebutan untuk anggota Rotary Club) dilarang keras untuk mencela adat budaya atau kepercayaan yang lain.
Rotary juga memaksakan toleransi kepada anggotanya yang intolerasi (jika ada). Rotary International anggotanya adalah klub, bukan person. Keanggotaan person pada klub berdasarkan profesi. Tidak boleh lebih dari dua orang atau 5% anggota dengan profesi yang sama dalam satu klub. Keragaman profesi merupakan keharusan. Klub mungkin saja anggotanya bersifat rasis (hanya menerima warna kulit, suku, atau agama tertentu), atau seksis (gender tertentu saja). Aku pernah mengenal beberapa klub yang beranggotakan pria, dan saat kutanya mengapa tidak ada rotarian wanita di klub mereka, jawaban mereka:
“Over my dead body.”
Namun keanggotaan sebuah klub dapat diterminasi oleh Rotary International jika terbukti klub tersebut menolak kehadiran rotarian dari club lain di pertemuan mingguannya. Sebagai catatan, kehadiran rotarian dalam pertemuan mingguan disyaratkan minimal 60% per bulan. Untuk memenuhi itu, rotarian disarankan hadir di pertemuan club lain atau event-event yang diselenggarakan Rotary baik tingkat club maupun district. District merupakan pendukung klub dalam satu wilayah dan penghubung dengan Rotary International.
Yang telah aku rasakan, sebagai Rotarian aku bisa pergi ke mana saja di seluruh dunia dan diterima dengan hati terbuka.
***
Rex, Peunayong, lima tahun silam. Segelas jus alpukat di depanku, dan secangkir kopi untuk temanku.
“Saya akan menikah dengan seorang duda di Oman. Maukah kamu hadir di pesta pernikahanku?” tanya Natasha.
Aku hanya tersenyum. Jangankan ke Oman, ke pulau Simeulue saja aku belum pernah.
“Selamat, ya,” ujarku tulus mendoakannya.
Saat itu aku teringat dengan kata-kata Keith,seorang mitra kerja kami, setelah Natascha mengajakku untuk mendirikan Rotary Club sepuluh tahun silam. Keith adalah pemuda berpendidikan dari keluarga terhormat di London. Ia pemuda yang baik, sebetulnya.
“Hati-hati dengan Natascha. Dia ‘kan keturunan Jerman. Fuckin’ Nazi.”
Yang aku tahu, Natascha berdarah Inggris, Jerman dan Pakistan. Ibunya seorang pekerja kemanusiaan yang giat membantu perempuan korban perang di Afghanistan.
Ternyata, tak ada kriteria khusus untuk menjadi rasis. Aku hanya berharap jangan ada di antara mereka yang memegang tampuk kekuasaan.
Mungkinkah?
Akhirul kalam, aku percaya sikap toleransi tidak cukup hanya dengan tutur kata, tapi dengan hati dan tindakan nyata. Benar-benar nyata.
HABIS
Bandung, 26 Januari 2016
Kisah ini adalah nyata. Opininya jujur. Nama-nama yang disebut adalah nama samaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H