Dulu, Greenpeace di benakku adalah organisasi rahasia yang bertujuan menyelamatkan dus menyatukan planet ini. Ketika MSF (Médecins Sans Frontières, Dokter Tanpa Batas) mendapat perhargaan Nobel tahun 1999, aku merasa cita-cita SATU BUMI bukan hal yang mustahil. Perkenalanku dengan buku-buku Alvin Toffler:Future Shock dan Third Wave menguatkan keyakinanku. Alvin Toffler membuatku siap menghadapi globalisasi.
Mei 2005, aku pulang ke Aceh untuk bekerja sebagai IT expert di sebuah LSM kecil asal Kanada. Selain orang-orang lokal, aku juga berkenalan dengan ekspatriat pegiat sosial dari berbagai penjuru dunia dan bermacam-macam organisasi kemanusiaan.
Suatu sore, salah seorang mitra kerja bernama Natascha bertanya:
“Oel, would you join me into Rotary?”
“What is Rotary?” tanyaku lugu.
(Selanjutnya terjemahan bahasa Indonesia, repot mengingat-ingat versi aslinya)
“Sekelompok orang-orang yang ngumpul-ngumpul ngopi seminggu sekali, ngobrol tentang pekerjaan kemanusiaan,” jawabnya enteng. Setidaknya begitulah maknanya yang kutangkap.
“Oke,” jawabku.
Singkat saja. Pertemuan pertama dilaksanakan di sebuah kafe dengan dihadiri perwakilan Rotary District, terdata nama-nama yang berminat bergabung dengan Rotary Club of Banda Aceh yang akan didirikan. Pertemuan berikutnya, Natascha yang seharusnya menjadi Charter President berpamitan: harus pulang ke Inggris untuk urusan keluarga.
Calon Charter President diestafetkan ke Linda, seorang ekspatriat juga, berikut President Club Manual Book yang setebal bantal tidur baru beli dari toko furnitur. Pada pertemuan ketiga, Linda menyerah, katanya karena membaca buku tersebut membuat kepalanya sakit.
Setelah beberapa lama tak ada kabar berita, aku—si kutukomputer kurang gaul butuh ngopi di kafe—menghubungi perwakilan District menanyakan bagaimana kelanjutan dengan rencana pendirian RCBA, singkatan dari Rotary Club of Banda Aceh. Justru yang aku terima adalah tantangan menjadi pendiri. Siapa takut?