Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Peunayong ke Evanston (Bagian 2)

25 Januari 2017   13:41 Diperbarui: 25 Januari 2017   17:24 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: start2finish.org

“Maaf, bang. Saya kira abang orang Jawa,” katanya tanpa nada penyesalan.

Aku terhenyak. Setelah bencana raya, mengapa kebencian tak beralasan itu tetap ada?  Aku mungkin saja marah kepada Joko—misalnya— karena ia berbohong, tidak menepati janji, dan sebagainya yang merugikan orang lain. Namun kemarahanku segera hilang begitu kelakuan buruknya berhenti.

Aku tak akan membenci Sri yang baik hati, Bambang yang lucu, atau Sugeng yang bahkan sama sekali tak kukenal, hanya karena mereka Jawa.

Ia tahu bahwa aku bukan Jawa setelah aku berbicara di depan forum dalam bahasa Aceh—dengan menahan emosi: “Kalau kalian tidak mampu melakukan validasi data keluarga korban secara benar di kota ini, aku mampu melakukannya sendirian, karena aku lahir dan besar di sini. Aku kenal turun temurun penduduk kota ini!”

Dan aku juga tak bisa marah kepada ia yang mengiraku Jawa. Toh, tak sedikit yang menyangkaku Sunda,atau keturunan India karena kulit gelapku.  Tampangku ternyata multietnik. Aku tak peduli mau dianggap berasal dari puak mana. Aku hanya kecewa karena cara berpikir primordial masih ada di abad ke-21 ini.

Tentu saja tidak semua orang Aceh berpikir demikian, hanya sebagian kecil saja. Bahkan, di antara anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) ada yang berasal dari suku Jawa dan juga orang Tionghoa.

***

Tahun 1984, awal-awal aku di Yogyakarta, aku paling sering menerima ucapan: “Maaf, mas. Tak kira mase orang Jawa.”

Ini terjadi karena setiap orang menyapaku dengan bahasa Jawa yang belum aku mengerti saat itu. Jawabanku: “Maaf, saya bukan orang Jawa.”

Anugerah terbesar menjadi warga Yogyakarta adalah aku menjadi Indonesia sesungguhnya.

Aku berpacaran dengan gadis Hindu dan membuat patah hati gadis Katholik (ini sungguh kisah yang memalukan dan bukan untuk dibanggakan), berteman dengan pemuda asal Dili, guyon dengan teman sekuliah para BTL (Batak Tembak Langsung), dan tentu saja: persaudaraan dengan orang-orang Jawa. Bahkan, aku mampu berbahasa Aceh berkat kumpul-kumpul rutin dengan sesama mahasiswa asal Aceh. Di kota Banda Aceh, pada masa remajaku, kami berbicara bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Di rumah, keluargaku juga berbahasa Indonesia. Bahkan, karena kesukaanku membaca dan menonton, bahasa Indonesiaku tanpa dialek sama sekali, nyaris seperti Yus Badudu berbicara.

Aku berkenalan dengan mantan istri di Yogyakarta.

Dari kecil aku tak mempunyai kebencian terhadap etnis tertentu. Tambah mustahil aku membenci suku atau golongan tertentu setelah daya nalarku semakin berkembang.

***

Aku dan (mantan) istri pindah ke Jambi tahun 1997 karena pekerjaan, sehingga ketika terjadi kerusuhan 1998 disusul dengan tumbangnya Orde Baru, dampaknya sama sekali tak kurasakan. Warga Jambi umumnya acuh terhadap konstelasi politik nasional. Persoalan di Jakarta biarlah diurus oleh orang Jakarta. Pembicaraan di warung kopi tentang ‘lokak’ (rezeki), baik yang halal maupun diragukan kehalalannya. Naik turunnya mata uang lebih penting dari pergantian rezim.

Meski bukan pekerjaanku, aku membangun sistem aplikasi yang membuat tugas utamaku sebagai Field Supervisor menjadi sangat ringan. Tak ada lagi tantangan baik secara profesi maupun intelektual membuatku bosan. Meski krisis moneter, uang saat itu melimpah, tapi godaan juga bertambah. Kehadiran putriku membuatku mengambil langkah drastis: berhenti bekerja dan pindah ke lain kota. Berpindah sudah menjadi gaya hidupku dan (mantan) istri sejak kami menikah.

***

“Ho na neujak?*” tanya seorang dengan seragam loreng sambil mengembalikan KTP.

“Bireuen,” jawabku yang mengantuk berat akibat menelan dua pil anti mabuk tadi sebelum meninggalkan Banda Aceh. Malam yang gelap pekat di tahun 2001. Aku duduk di bangku depan L-300, dalam perjalanan mempresentasikan Rancangan Tata Ruang Kabupaten.

“Ho?” ulangnya.

“Bireuen!” jawabku ketus. Aku melirik emblem di dadanya: ATJEH LIBERATION ARMY. Sepucuk M-16 disandang di punggungnya.

“Kalau ada KTA** tolong dikeluarkan,” katanya lagi. Aku diam saja. Mataku masih mengantuk berat.

“Jalan!” perintahnya pada supir. Aku memperkirakan ada sekitar lima puluh orang bersenjata melakukan sweeping di situ. Sebelumnya, 500 meter dari situ sebuah pos polisi juga memberhentikan mobil kami.

Mobil L-300 yang kutumpangi berjalan perlahan.

“Untung tak ada yang disuruh turun,” desah supir lega. Aku baru teringat kalau SIM Yogyakartaku ada di dalam dompet. Kalau gara-gara SIM aku sampai dikira mata-mata dari Jawa, tamat riwayatku saat itu.

Keesokan harinya, saat perjalanan pulang setelah selesai presentasi, kami tertahan di daerah tersebut selama lima jam karena terjadi kontak senjata antara aparat dengan GAM.

***

Kondisi dan situasi keamanan Aceh bertambah  buruk.  Seorang tokoh ulama tetanggaku di tembak sepulang salat Magrib di Masjid Raya  Baiturrahman yang berjarak 300 meter dari rumahku. Rumahnya hanya berjarak 100 meter dari tempatku.

Suara tembakan pistol atau ledakan granat bukan hal aneh. Mayat dicampakkan di area publik tanpa pernah diketahui siapa pelakunya. Jurubicara GAM ditangkap setelah perundingan tepat di depan pagar rumahku, contoh betapa liciknya penguasa saat itu. Ibu mertuaku di Malang bolak balik masuk rumah sakit karena tekanan darahnya naik turun setiap menonton berita yang berkaitan dengan konflik Aceh.

Namun aku memutuskan  pindah kembali ke Jambi setelah Presiden Megawati menetapkan Aceh sebagai Daerah Darurat Militer. Aku tak takut mati, sungguh. Tapi keharusan mengganti tanda identitas dengan KTP Merah Putih membuatku sangat tersinggung. Konflik terjadi karena keserakahan dan arogansi pusat, dan bahkan dipelihara sebagai lumbung proyek. Pekerjaanku di bidang pemetaan digital juga sangat rawan dimanfaatkan kedua belah pihak yang bertikai.  

Setahun setengah di Jambi, aku kembali ke Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami memanggilku pulang.

Namun ternyata masih ada juga yang memelihara kebodohan purbasangka dari masa silam.

“Maaf, bang. Saya kira abang orang Jawa,” katanya tanpa nada penyesalan.

(BERSAMBUNG)

*Ho na neujak? (bhs. Aceh): Anda hendak ke mana?

**KTA (abbr.): Kartu Tanda Anggota (polisi atau tentara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun