“Jalan!” perintahnya pada supir. Aku memperkirakan ada sekitar lima puluh orang bersenjata melakukan sweeping di situ. Sebelumnya, 500 meter dari situ sebuah pos polisi juga memberhentikan mobil kami.
Mobil L-300 yang kutumpangi berjalan perlahan.
“Untung tak ada yang disuruh turun,” desah supir lega. Aku baru teringat kalau SIM Yogyakartaku ada di dalam dompet. Kalau gara-gara SIM aku sampai dikira mata-mata dari Jawa, tamat riwayatku saat itu.
Keesokan harinya, saat perjalanan pulang setelah selesai presentasi, kami tertahan di daerah tersebut selama lima jam karena terjadi kontak senjata antara aparat dengan GAM.
***
Kondisi dan situasi keamanan Aceh bertambah buruk. Seorang tokoh ulama tetanggaku di tembak sepulang salat Magrib di Masjid Raya Baiturrahman yang berjarak 300 meter dari rumahku. Rumahnya hanya berjarak 100 meter dari tempatku.
Suara tembakan pistol atau ledakan granat bukan hal aneh. Mayat dicampakkan di area publik tanpa pernah diketahui siapa pelakunya. Jurubicara GAM ditangkap setelah perundingan tepat di depan pagar rumahku, contoh betapa liciknya penguasa saat itu. Ibu mertuaku di Malang bolak balik masuk rumah sakit karena tekanan darahnya naik turun setiap menonton berita yang berkaitan dengan konflik Aceh.
Namun aku memutuskan pindah kembali ke Jambi setelah Presiden Megawati menetapkan Aceh sebagai Daerah Darurat Militer. Aku tak takut mati, sungguh. Tapi keharusan mengganti tanda identitas dengan KTP Merah Putih membuatku sangat tersinggung. Konflik terjadi karena keserakahan dan arogansi pusat, dan bahkan dipelihara sebagai lumbung proyek. Pekerjaanku di bidang pemetaan digital juga sangat rawan dimanfaatkan kedua belah pihak yang bertikai.
Setahun setengah di Jambi, aku kembali ke Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami memanggilku pulang.
Namun ternyata masih ada juga yang memelihara kebodohan purbasangka dari masa silam.
“Maaf, bang. Saya kira abang orang Jawa,” katanya tanpa nada penyesalan.