Saat gempa dan tsunami melanda Banda Aceh, 26 Desember 2004, aku dan anak istri berada di kota Jambi.
“Awak idak balik ke Aceh? Kami sudah kumpulkan duit untuk sumbangan,” kata Erwin, salah satu sobat Tionghoa-ku di di bulan Januari 2005. Di kota Jambi, teman Tionghoa-ku banyak sekali. Erwin menerbitkan suratkabar mingguan berbahasa Mandarin di Jambi. Perkumpulan Tionghoa-nya (aku tak tahu yang mana) berhasil mengumpulkan uang untuk disumbangkan sebesar dua milyar rupiah.
“Awak ‘kan tau kalau aku masih punya kontrak samo Pertamina. Mengapa idak awak antarkan dewek?”
“Nak antar ke mano?” tanyanya galau.
Aku teringat masa kecilku di Kampung Mulia dan Peunayong.
“Di Banda Aceh, cari barak atau tenda pengungsi di Kampung Mulia atau Peunayong. Itu wilayah Pecinan. Yang selamat perlu awak bantu.”
Erwin menatapku tak percaya.
“Ada Pecinan jugo di Aceh?”
Aku tertawa.
Empat bulan kemudian, setelah kontrakku selesai, aku pulang ke tanah kelahiran. Malu aku. Tak mungkin aku hanya berpangku tangan sementara orang lain heboh mengulurkan bantuan.
(BERSAMBUNG)