Aku mengenal rasialisme pertama kali dari novel Pondok Paman Tom (Uncle Tom’s Cabin) oleh Harriet Beecher Stowesaat di bangku Sekolah Dasar. Kesukaanku membaca memperkenalkanku pada The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain, juga Winnetou: persahabatan antara kulit merah dan putih.
Meski moral cerita buku-buku itu membekas di jiwa mudaku, aku menganggap rasisme adalah fiksi, karena aku tak menemukannya dalam kehidupan nyata saat itu.
Lahir dan tumbuh sebagai remaja di kota Banda Aceh, aku bahkan pernah tiga tahun lamanya bertetangga kiri kanan depan belakang dengan orang Tionghoa, karena memang saat itu kami tinggal di Kampung Mulia, yang merupakan wilayah Pecinan di Banda Aceh, bersama Peunayong kampung tetangga. Namun saat itu aku tak mengenal kata Cina. Bagiku, teman-teman masa kecilku tak berbeda denganku. Hanya saja matanya lebih sipit, kulitnya lebih kuning dan bicaranya cadel.
Meski tetangga-tetanggku tersebut bukan orang kaya, namun saat Imlek rumahku kebanjiran kue keranjang, kue bulan dan lapis legit. Aku juga mengunjungi rumah mereka untuk bermain seperti biasa. Pada hari istimewa tersebut selalu ada minuman limun atau minuman bersoda yang langka zaman itu. Pada saat Hari Raya Idul Fitri, mereka juga main ke rumah dan ikut menghabiskan ketupat dan rendang.
Keluargaku mempunyai hubungan baik dengan banyak orang, termasuk dengan orang-orang Tionghoa. Persahabatan kakekku dengan salah seorang Tionghoa pemilik warung kopi di Pasar Atjeh, Kampung Baru, bahkan melegenda hingga kini.
Tahun 1981 adalah pertama kali aku berada di pusat konflik SARA. Saat itu aku kelas satu SMA.
Zakaria, seorang nelayan dipukul saat memperbaiki motornya di bengkel Achin di Peunayong. Segera saja kerusuhan anti Cina meletus di seluruh Aceh. Orang-orang Tionghoa mengungsi atau diungsikan ke Medan. Selama berhari-hari, jangankan untuk membeli roti, mencari jarum dan benang saja sulit karena perdagangan memang dikuasai orang Tionghoa.
Aku jadi membenci rasialisme, selamanya.
Meski begitu, orang-orang Tionghoa kembali lagi ke Banda Aceh setelah situasi sudah kondusif. Eksodus ke luar Aceh terjadi saat konflik gerakan separatis.
Ketika aku pindah ke Bandung tahun 1983, aku menyadari bahwa pengetahuan tentang dunia sangatlah sempit, hanya kudapat dari buku, televisi dan filem. Selanjutnya kuliah di Yogyakarta, bekerja di ibukota dan beberapa kota provinsi membuatku semakin yakin: aku takkan pernah membenci seseorang karena suku, ras atau agama. Sebagai mahasiswa, aku berteman dengan semua suku bangsa di Indonesia, termasuk dari Timor Leste (d.h. Timor Timur). Sebagai pekerja, karyawan, profesional pergaulanku semakin luas. Tak pernah aku memilih-milih teman.
***
Saat gempa dan tsunami melanda Banda Aceh, 26 Desember 2004, aku dan anak istri berada di kota Jambi.
“Awak idak balik ke Aceh? Kami sudah kumpulkan duit untuk sumbangan,” kata Erwin, salah satu sobat Tionghoa-ku di di bulan Januari 2005. Di kota Jambi, teman Tionghoa-ku banyak sekali. Erwin menerbitkan suratkabar mingguan berbahasa Mandarin di Jambi. Perkumpulan Tionghoa-nya (aku tak tahu yang mana) berhasil mengumpulkan uang untuk disumbangkan sebesar dua milyar rupiah.
“Awak ‘kan tau kalau aku masih punya kontrak samo Pertamina. Mengapa idak awak antarkan dewek?”
“Nak antar ke mano?” tanyanya galau.
Aku teringat masa kecilku di Kampung Mulia dan Peunayong.
“Di Banda Aceh, cari barak atau tenda pengungsi di Kampung Mulia atau Peunayong. Itu wilayah Pecinan. Yang selamat perlu awak bantu.”
Erwin menatapku tak percaya.
“Ada Pecinan jugo di Aceh?”
Aku tertawa.
Empat bulan kemudian, setelah kontrakku selesai, aku pulang ke tanah kelahiran. Malu aku. Tak mungkin aku hanya berpangku tangan sementara orang lain heboh mengulurkan bantuan.
(BERSAMBUNG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H