Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membatasi Kata Memerdekakan Imajinasi

24 Agustus 2016   15:47 Diperbarui: 24 Agustus 2016   16:47 2798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: thewritepractice.com

Berbeda halnya dengan puisi, ketika pembaca meminta ulasan fiksi/prosa karya Penulis, maka Penulis merasa berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut. Tulisan ini menanggapi komentar Kompasianer Muslifa Aseani pada cerpen Empat Puluh Dua Kemarau yang Penulis sertakan dalam event menulis Fiksi Foto di Kompasiana yang diadakan trio DesoL, Imas Siti Liawati dan Putri Apriani (DIP).

1. Show, don’t tell

Dalam menulis fiksi/prosa, ada satu aturan yang lazim dijadikan pegangan dalam bertutur, yaitu “Show, don’t tell” (tunjukkan, bukan paparkan).

Misalnya, “Bayangan bulan purnama terpantul di atas kolam”, berbeda rasanya dengan “Talam perak mengambang di permukaan yang tenang, mendadak pecah ke segala penjuru oleh pendaratan seekor serangga air berkaki panjang yang ingin mengistirahatkan sayapnya yang  lelah.”, meski peristiwanya sama.

Flash fiction adalah sebuah plot kisah lengkap dengan awal, konflik, klimaks, anti klimaks dan penutup dengan jumlah kata terbatas.

Ketika membaca fiksi-enam-kata Hemingway, “Dijual: sepatu bayi. Belum pernah dipakai.”, dalam benak pembaca mungkin akan muncul pertanyaan: Mengapa sepatu itu belum pernah dipakai? Apa yang terjadi dengan bayi tersebut? Bagaimana keadaan keluarga yang memasang iklan itu?

Mungkin pembaca lain akan merangkai sebuah kisah: Pasangan suami istri yang kehilangan anaknya yang baru lahir. Kesedihan yang dalam melanda mereka. Sang istri berduka, setiap hari termenung memandang sepatu bayi yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Sang suami yang tak tahan melihat itu, memutuskan untuk menjual sepatu bayi tersebut....

Hanya dengan enam kata saja, Hemingway telah memancing sejumlah pertanyaan dan imajinasi pembacanya.

Sebagai fiksianer yang masih belajar, penulis berusaha menerapkan aturan “Show, don’t tell” dalam cerpen-cerpen Penulis. Misalnya, dongeng Monster terinspirasi permainan Pokemon Go, penulis membayangkan bagaimana jika ternyata pokemon sebenarnya makhluk hidup di alam mereka sendiri? Bagi mereka, manusia yang menangkapnya adalah monster.

Dalam menulis cerpen tersebut, Penulis mengajak pembaca berimajinasi seperti Penulis tanpa harus memaparkan dengan kalimat-kalimat gamblang.

Demikian juga dengan cerpen Empat Puluh Dua Kemarau.

Foto pilihan yang diberikan trio DIP yang menjadi sumber inspirasi cerpen tersebut, awalnya membuat Penulis terbayang musim kemarau dengan pohon-pohon meranggas (meski Penulis menduga bahwa fokusnya adalah pada gedung-gedung dalam gambar).

Foto dok. DesoL
Foto dok. DesoL
2. Telaah singkat (karena jumlah kata tulisan ini sudah melebihi cerpen yang diulas)

Tanpa bermaksud membatasi bagaimana pembaca memaknai cerpen tersebut, Penulis akan mendeskripsikan plot dasar, ‘fakta-fakta’ dan pertanyaan yang mungkin timbul.

a. Plot.

 ‘Aku’, seorang bocah kecil melihat pohon-pohon meranggas untuk pertama kali. Ia memunguti ranting-ranting kayu yang jatuh dan dijual ke pasar. “Aku’ bertemu ‘Kamu’, seorang bocah perempuan. Aku menceritakan bahwa pohon-pohon telah mati, yang dibantah oleh ‘Kamu’. Terbukti saat hujan pertama, pohon-pohon kembali hidup.

Suatu ketika, terjadi hujan badai. ‘Aku’ ingin pulang, tapi ditahan oleh ‘Kamu’. Sejak saat itu, ‘Aku’ dan ‘Kamu’ selalu bersama.

Di musim kemarau, empat puluh dua tahun kemudian, ‘Kamu’ meninggal dunia dan ‘aku’ tinggal sendiri.

b. Fakta

- ‘Aku’ bocah miskin, yang ditunjukkan dengan ‘dekil ceking berperut busung’, mengumpulkan ranting kayu untuk dijual ke pasar.

- ‘Aku’ pendatang baru di tempat itu, karena baru pertama kalinya melihat pohon meranggas.

- ‘Aku’ sadar bahwa ‘Kamu’ tidak akan hidup lagi, tidak seperti pohon yang kembali rimbun saat musim hujan, dan kenangan akan musim hujan bersama ‘Kamu’ membuatnya tak menginginkan musim hujan kembali.

c. Pertanyaan yang mungkin timbul

- Apakah ‘Aku’ tidak mempunyai orang tua atau keluarga?

- Apakah ‘Kamu’ berasal dari etnis tertentu, atau memang dialeknya merupakan dialek lokal atau hanya karena cadel?

- Mengapa saat 'Aku' ingin pulang ditahan oleh 'Kamu'? Mungkinkah saat itu terjadi banjir karena sungai meluap?

- Apa penyebab kematian ‘Kamu’? Mungkinkah karena ‘serigala’ yang disebut-sebut oleh ‘Aku’?

Mungkin masih ada pertanyaan lain yang ada dalam benak pembaca. Untuk jawaban semua pertanyaan, Penulis kembalikan kepada Anda.

Bandung, 24 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun