Marvel's Captain America: Civil War Logo | marvel.com
Penulis pernah berkata, “setiap opini adalah fiksi”. Dan karena itu penulis lebih suka menulis fiksi, karena juga menurut beberapa orang (termasuk penulis), “fiksi seringkali merupakan cermin realita”.
Kita sering mengambil nilai-nilai dalam kisah fiksi ke dalam kehidupan sehari-hari. Terminologi dalam psikologi umpamanya, berkaitan dengan legenda Yunani. Falsafah wayang berasal dari epos Ramayana dan Baratayudha. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi didahului oleh fiksi ilmiah.
Kegemaran pada fiksi mengantarkan penulis untuk mencoba memahami realita, baik tentang kehidupan sehari-hari hingga alam semesta. Banyak kesamaan antara kisah fiksi dengan kenyataan. Dongeng dan legenda meski sering di luar logika, tetapi mempunyai kesamaan di berbagai wilayah yang berjauhan. Ataupun dikisahkan pada kurun waktu yang berbeda.
Sebagai penggemar komik, penulis adalah penggemar komik-komik Marvel yang kini storyline-nya diangkat ke layar lebar: Fantastic Four, X-Men, Spider-Man, Avenger, Guardians of the Galaxy, Thor, Captain America, Iron Man. Masih sederet lagi yang mengantri untuk rilis sampai beberapa tahun ke depan.
Di layar kaca kita menikmati Agent of S.H.I.E.L.D dan Agent Carter, Dare Devil dan Jessica Jones.
Untuk lebih jelas lagi, penulis tekankan bahwa penulis adalah penggemar fanatik komik-komik Marvel. Beberapa hari lagi, film Captain America: Civil War akan tayang di seluruh dunia.
Di sini penulis merasa galau. Penulis berhenti membaca komik Marvel setelah event Civil War. Sebelumnya semua event Marvel—seberapapun hebohnya—penulis masih menganggapnya sebagai fiksi. Kebenaran menang melawan kejahatan. Tokoh-tokoh jahat digambarkan secara karikatural.
Event X-Men: House of M yang mendahului event Marvel Civil War yang mengisahkan menyusutnya populasi mutant secara drastis sudah membuat penulis hilang selera, namun penulis masih percaya bahwa Marvel tak berniat merusak kisah yang sudah melegenda itu. Tapi Civil War (komik) benar-benar luar binasa. Civil War bukan pertempuran antara kebenaran melawan kejahatan. Kisahnya mirip Baratayudha (penulis menganggap Kurawa tidak selalu jahat dan Pandawa tidak selalu benar).
Civil War adalah dystopia yang sangat mirip dengan realita.
Penyebab perang saudara antar pahlawan super itu adalah sebuah reality tv show yang mirip dengan apa yang sekarang menjadi tayangan televisi.
Kisah Civil War adalah pertempuran orang baik melawan orang baik. Polemik opini tak berujung. Sahabat melawan sahabat. Perkelahian antar saudara. Penjahat direkrut penguasa menjadi ‘pahlawan’ membasmi dissident. Penjara tanpa pengadilan. Pembuangan. Pertempuran berakhir dengan kekalahan pihak Captain America yang tewas oleh salah satu penjahat pemicu perang saudara, dan meskipun pihak Iron Man menang, ia dan teman-temannya dikhianati oleh pemerintah yang dibelanya. Event yang menyusul, Civil War: Aftermath dan Initiative sungguh muram.
Pada akhirnya, orang baik kalah.
Penulis berhenti membaca komik. Terlalu mirip dengan peristiwa dunia sekarang.
Menonton versi bergerak komik Marvel, terutama film layar lebar, selalu membuat penulis kecewa. Memang ada yang mengatakan, menonton dan membaca adalah hal yang harus dipisahkan. Film harus dianggap terpisah dari sumber inspirasinya. Tapi penulis belum mampu sampai pada tingkatan itu. Jangankan dari buku ke film, remake film lamapun selalu dibandingkan dengan aslinya.
Nah, film Captain America: Civil War yang beberapa hari lagi tayang seperti membuka luka lama. Apakah jika penulis menonton malah bikin penulis tambah frustasi? Atau penulis melupakan saja Marvel yang hancur diacakadut Paramount Picture dan kemudian membuat meme Dear Mantan?
Yang jelas, penulis sudah berhasil menulis satu artikel lagi hari ini. Horeee!
Kota Raja, 4 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H