Berita dari merdeka.com bertajuk Buat 'Indonesia Tanpa Jokowi', BEM UGM dipanggil wakil rektor kemarin (5 November 2015 06:30) membuat penulis tertawa, kagum, terpana dan termenung.
Tertawa.
Entah apa yang merasuki Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gajah Mada (BEM KM UGM) Yogyakarta sehingga menggelar Lomba Mural Indonesia dengan tema seperti itu, di saat suhu politik dan keamanan sedang tinggi dengan kasus foto jongkok bersama Suku Anak Dalam di tengah kebun sawit dan Surat Edaran Kapolri mengenai Ujaran Kebencian. Ibaratnya, lagi kebakaran malah disiram bensin.
Mungkin mereka gila. Meskipun tidak se’gila’ penulis, tapi tetap layak didiagnosa gila. Gila yang kreatif. Maka penulis pun tertawa dari Sabang sampai Merauke.
Kagum.
Setelah puas tertawa, mood penulis berganti menjadi kagum. Apakah mereka penggemar kisah fiksi, terutama fiksi ilmiah? Meskipun penulis tidak yakin mereka pernah memirsa ‘Slider’, serial tv tahun 90-an tentang sekelompok petualang dipimpin remaja jenius yang menemukan alat untuk berkunjung ke dimensi parallel, tapi bisa saja mereka terpengaruh dengan serial tv ‘Fringe’ atau film ‘Star Trek’ yang dua-duanya besutan J.J. Abrams yang berkisah tentang semesta sejajar (parallel universe).
Realitanya adalah, tidak ada Indonesia tanpa Jokowi, setidaknya di jagad yang kita diami ini.
Jadi lomba ini tentang imajinasi. Hasil karyanya berupa visualisasi fiksi murni. Makanya penulis terkagum-kagum. Masih ada harapan bahwa kelak di Indonesia akan lahir karya-karya fiksi ilmiah.
Terpana.
Semakin mendalami artikel republika.com, penulis menjadi terpana. Ada apa dengan Gadjah Mada University Yogyakarta, almamaterku tercinta?
Semasa penulis masih lontang lantung di kampus dulu, kebebasan berpikir dan berbicara adalah oksigen bagi paru-paru ‘civitas academica’. Ya, para makhluk dalam istilah Bahasa Latin temuan bangsa Indonesia ini terkenal tak mau dikekang. Pikirannya ngelayap ke mana-mana. Omongannya ngelantur ngalor-ngidul-ngulon-ngetan balik ngalor, dengan jargon-jargon yang kemudian dipopulerkan Vicky Prasetyo. Padahal masa itu, Orde Baru masih gagah berkuasa. NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) masih merupakan doktrin suci setingkat Dasar Negara.
Apakah Wakil Rektor sedang berusaha mematikan aspirasi, idealisme, Â atau apalah-apalah yang seharusnya menghidupi kampus?
Semakin mendalami tulisan lagi, ternyata tidak. Bapak Wakil Rektor hanya ingin berdialog. Dalam ruangan bukan di tengah kebun sawit. Untung lah.
Termenung.
Selesai membaca, tibalah saatnya bagi penulis untuk merenung. Sebentar…, penulis mau bikin kopi dulu. Udara dingin dan hujan gerimis bikin mata ngantuk.
Penulis mencoba membayangkan mural seperti apa yang akan dibuat oleh peserta lomba. Utopia sebagai macan asia seperti harapan pendukung pesaing Jokowi semasa pilpres dulu, atau sebaliknya dystopia seperti yang dikhawatirkan Wanda Hamidah dimana jika yang menang pihak ‘sono’ maka media dibreidel, tidak bisa bebas menulis, membuat film dan mengkritik lagi? Atau ada yang melukiskan perang bintang a la Star Wars, primata selain manusia menguasai Indonesia seperti The Planet of The Apes, kehidupan samudera seperti Waterworld atau bergentayangannya kuntilanak, genderuwo, tuyul yang umum di film nasional?Â
Penulis sendiri jika jadi peserta lomba maka akan membuat lukisan JEMBATAN SELAT SUNDA yang berkilauan di bawah sinar mentari senja, perahu cadik nelayan menuju pantai dan lumba-lumba berpacu di bawahnya.
Tapi penulis bukan peserta lomba. Belum segila itu.
Yang penulis inginkan sampai setengah gila saat ini adalah Sego Pecel Bu Wiryo Selokan Mataram.
Â
Bandung, 6 November 2015.
Sumber gambar di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H