Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Kepercayaan Gelanggang dan Manifesto Kebudayaan: Sebuah Refleksi

24 Oktober 2015   14:49 Diperbarui: 4 April 2017   18:14 6688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gelanggang Seniman Merdeka"][/caption]

 

LATAR BELAKANG

Enam puluh lima tahun yang lalu, sekelompok sastrawan yang tergabung dalam GELANGGANG SENIMAN MERDEKA (kelak dikenal sebagai pelopor Angkatan ’45) menyatakan sikap dalam bentuk SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG,  yang dimuat dalam majalah Siasat edisi 22 Oktober 1950.

Bunyi Surat Kepercayaan Gelanggang:

 

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.

Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.

Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

 

GELANGGANG SENIMAN MERDEKA (selanjutnya disebut GELANGGANG) yang didirikan oleh Chairil Anwar pada tahun 1947 merupakan kumpulan seniman (tidak hanya sastrawan namun juga termasuk para pelukis, pemusik, dan seniman seperti Haruddin M.S.Mochtar ApinHenk NgantungBasuki Resobowo,Asrul SaniRifai Apin dan lain-lain, dilatar belakangi idealisme untuk lepas dari ikatan atau pengaruh angkatan sebelumnya dan juga dan pemasungan kreativitas seni pihak penguasa yang mereka anggap munafik. Menentang chauvinisme dan menganut paham bahwa seni itu bersifat universal, tidak terkotak-kotak.

 

MANIFESTO KEBUDAYAAN

Sikap para seniman GELANGGANG yang menolak hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan berbenturan dengan mereka yang tergabung dalam organisasi seniman underbouw PKI, Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA), yang mengedepankan politik sebagai panglima, dan menjadikan karya seni sebagai alat propaganda politik. Puncaknya terjadi pada tanggal 17 Agustus 1963 ketika GELANGGANG menyatakan MANIFESTO KEBUDAYAAN, yang isinya:

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963

(Drs.H.B.Jassin - Trisno Sumardjo, - Wiratmo Soekito – Zaini - Bokor Hutasuhut - Goenawan Muhammad - A.Bastari Asnin - Bur Rasuanto - Soe Hok Djin - D.S.Moeljanto - Ras Siregar - Hartojo Andangdjaya - Sjahwil - Djufri Tanissan - Binsar Sitompul - Drs. Taufik A.G.Ismail - Gerson Pyok - M.Saribi Afn. - Pernawan Tjondronagaro - Drs.Boen S.Oemarjati)

Manifesto Kebudayaan ini segera mendapat dukungan dari para seniman yang gerah dengan tekanan LEKRA, pertikaian memanas sehingga terjadi polemik yang berkepanjangan. Mengenai pengaruh Manifesto Kebudayaan ini dapat dibaca dalam Bab 3 Skripsi Saktiana Dwi Astuti, 2009, judul MANIFES KEBUDAYAAN DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA.

Di bawah hasutan PKI dan LEKRA, pada tanggal Tanggal 8 Mei 1964 Bung Karno melarang Manifesto Kebudayaan (yang diejek oleh LEKRA dengan sebutan MANIKEBU) dengan alasan “Karena Manifesto Politik RI sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan Manifesto lain, apalagi manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya.”

Dua hari kemudian, pada tanggal 10 Mei 1964 Wiratmo Soekito, H.B.Jassin, dan Trisno Sumardjo, mengirim surat kawat kepada Presiden Soekarno yang menyatakan “mematuhi larangan tersebut”, dan kemudian atas nama para pendukung Manifes Kebudayaan di seluruh Indonesia, pada  tanggal 19 Mei 1964 kembali mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang isinya “memohon maaf”, dengan  penjelasan  “... kami minta maaf, karena telah terlambat memenuhi keinginan Pemimpin Besar Revolusi.untuk mengubah Manifes untuk membuat Manifesto yang baru. Jadi, jelaslah, bahwa tujuan permintaan maaf itu bukannya untuk mengakhiri larangan Manifes”.

SETELAH 30 SEPTEMBER 1965

Peristiwa G30S/PKI, disusul “Perang Saudara” paling berdarah dalam sejarah terkelam bangsa Indonesia yang menjadi awal berkuasanya Orde Baru, membawa kehancuran bagi elit dan anggota Partai Komunis Indonesia berikut organisasi-organisasi underbouwnya termasuk LEKRA. Dibantai atau dibui. Yang berhasil melarikan diri hidup di pengasingan di luar negeri.

Peristiwa yang menggiriskan itu banyak dinukilkan oleh sastrawan Indonesia pasca peristiwa G30S dalam karya-karya mereka. Umar Kayam dengan cerpen Bawuk yang menggambarkan seorang wanita priyayi yang jatuh cinta kepada aktivis PKI. Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, tentang sosok ronggeng dan masyarakat desa yang tidak tahu apa-apa tapi terseret dalam kemelut politik, serta masih banyak lagi lainnya.

Banyak tahanan politik peristiwa G30S/PKI ditahan di Pulau Buru, Maluku, termasuk Pramoedya Ananta Toer. Dibebaskan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September (tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun), Pramoedya melahirkan beberapa karya satra yang mendapat pengakuan internasional, termasuk Ramon Magsaysay Award, tahun 1995. Penghargaan ini menjadi polemik yang dipicu oleh para korban penindasan Pramoedya semasa berkuasa di LEKRA, yang menganggap ia belum meminta maaf atas dosa-dosanya tersebut. Tuntutan itu menjadi bahan perenungan bagi seniman lainnya: apakah bangsa kita harus selalu terbelenggu dengan masa lalu? 

Komunisme (seharusnya) telah mati karena gagal membawa kesejahteraan bagi manusia. Jerman bersatu. Uni Sovyet bubar jalan. Tidak ada lagi Pakta Warsawa yang mencengkeram Negara-negara Eropa Timur. Korea Utara bangkrut. Cina melunak dengan menganut pasar bebas. Kuba setali tiga uang.

Bubarnya Komunisme bukan berarti kemenangan ideologi Kapitalisme. Negara-negara Skandinavia sukses menerapkan Demokrasi Sosial, di mana Pancasila secara kejiwaan mengandung semua nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Mungkin inilah ideologi masa depan yang dapat menyatukan bangsa-bangsa di muka bumi.

Di Indonesia, persinggungan kebudayaan dengan politik (baca: kekuasaan) belakangan ini mengental. Pemilihan presiden terakhir dengan selisih tak terpaut jauh, bahkan secara keseluruhan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla hanya meraih 37 persen suara, sisanya memilih Prabowo-Hatta (33 persen) atau GOLPUT.

Dengan margin yang tipis, perseteruan antar kubu tidak berakhir dengan selesainya pilpres. Politik balas budi Joko Widodo terhadap pendukungnya, termasuk para seniman, justru menimbulkan pelacuran budaya baru. Seniman seperti Iwan Fals yang ‘kebagian jatah’ menjadi Duta Desa oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi  (Kemendes PDTT) mendapat kecaman gara-gara kicauannya yang menyalahkan negara-negara lain gara-gara kenaikan harga-harga, bahkan kehilangan kepekaan sosialnya dalam tragedi jerebu terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan menuduh pemerintah daerah hanya ongkang-ongkang kaki sementara Jokowi melakukan ‘blusukan’.

PENUTUP

Sebagai seniman, keberpihakan adalah wajar, selama tidak menutup mata terhadap kondisi riil yang ada di sekitar. Bahkan, jika sekiranya keberpihakan itu dapat memicu polemik di masyarakat, lebih baik melakukan kontemplasi yang dalam sebelum mengeluarkan statement yang ambigu sehingga dapat dipelintir arti maknanya. Sikap kritis berkesenian selayaknya ditujukan untuk membangun kemanusiaan dan rasa empati terutama kepada rakyat kecil.

Semoga semangat humanisme universal yang diusung SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG dan MANIFESTO KEBUDAYAAN hendaknya tidak hanya sekadar menjadi catatan kaki kebudayaan Indonesia, tapi nyala api yang tak kunjung padam menerangi jembatan emas masa depan Indonesia Jaya.

Salam Indonesia.

Bandung, 24 Oktober 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun