Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Kepercayaan Gelanggang dan Manifesto Kebudayaan: Sebuah Refleksi

24 Oktober 2015   14:49 Diperbarui: 4 April 2017   18:14 6688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari kemudian, pada tanggal 10 Mei 1964 Wiratmo Soekito, H.B.Jassin, dan Trisno Sumardjo, mengirim surat kawat kepada Presiden Soekarno yang menyatakan “mematuhi larangan tersebut”, dan kemudian atas nama para pendukung Manifes Kebudayaan di seluruh Indonesia, pada  tanggal 19 Mei 1964 kembali mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang isinya “memohon maaf”, dengan  penjelasan  “... kami minta maaf, karena telah terlambat memenuhi keinginan Pemimpin Besar Revolusi.untuk mengubah Manifes untuk membuat Manifesto yang baru. Jadi, jelaslah, bahwa tujuan permintaan maaf itu bukannya untuk mengakhiri larangan Manifes”.

SETELAH 30 SEPTEMBER 1965

Peristiwa G30S/PKI, disusul “Perang Saudara” paling berdarah dalam sejarah terkelam bangsa Indonesia yang menjadi awal berkuasanya Orde Baru, membawa kehancuran bagi elit dan anggota Partai Komunis Indonesia berikut organisasi-organisasi underbouwnya termasuk LEKRA. Dibantai atau dibui. Yang berhasil melarikan diri hidup di pengasingan di luar negeri.

Peristiwa yang menggiriskan itu banyak dinukilkan oleh sastrawan Indonesia pasca peristiwa G30S dalam karya-karya mereka. Umar Kayam dengan cerpen Bawuk yang menggambarkan seorang wanita priyayi yang jatuh cinta kepada aktivis PKI. Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, tentang sosok ronggeng dan masyarakat desa yang tidak tahu apa-apa tapi terseret dalam kemelut politik, serta masih banyak lagi lainnya.

Banyak tahanan politik peristiwa G30S/PKI ditahan di Pulau Buru, Maluku, termasuk Pramoedya Ananta Toer. Dibebaskan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September (tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun), Pramoedya melahirkan beberapa karya satra yang mendapat pengakuan internasional, termasuk Ramon Magsaysay Award, tahun 1995. Penghargaan ini menjadi polemik yang dipicu oleh para korban penindasan Pramoedya semasa berkuasa di LEKRA, yang menganggap ia belum meminta maaf atas dosa-dosanya tersebut. Tuntutan itu menjadi bahan perenungan bagi seniman lainnya: apakah bangsa kita harus selalu terbelenggu dengan masa lalu? 

Komunisme (seharusnya) telah mati karena gagal membawa kesejahteraan bagi manusia. Jerman bersatu. Uni Sovyet bubar jalan. Tidak ada lagi Pakta Warsawa yang mencengkeram Negara-negara Eropa Timur. Korea Utara bangkrut. Cina melunak dengan menganut pasar bebas. Kuba setali tiga uang.

Bubarnya Komunisme bukan berarti kemenangan ideologi Kapitalisme. Negara-negara Skandinavia sukses menerapkan Demokrasi Sosial, di mana Pancasila secara kejiwaan mengandung semua nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Mungkin inilah ideologi masa depan yang dapat menyatukan bangsa-bangsa di muka bumi.

Di Indonesia, persinggungan kebudayaan dengan politik (baca: kekuasaan) belakangan ini mengental. Pemilihan presiden terakhir dengan selisih tak terpaut jauh, bahkan secara keseluruhan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla hanya meraih 37 persen suara, sisanya memilih Prabowo-Hatta (33 persen) atau GOLPUT.

Dengan margin yang tipis, perseteruan antar kubu tidak berakhir dengan selesainya pilpres. Politik balas budi Joko Widodo terhadap pendukungnya, termasuk para seniman, justru menimbulkan pelacuran budaya baru. Seniman seperti Iwan Fals yang ‘kebagian jatah’ menjadi Duta Desa oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi  (Kemendes PDTT) mendapat kecaman gara-gara kicauannya yang menyalahkan negara-negara lain gara-gara kenaikan harga-harga, bahkan kehilangan kepekaan sosialnya dalam tragedi jerebu terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan menuduh pemerintah daerah hanya ongkang-ongkang kaki sementara Jokowi melakukan ‘blusukan’.

PENUTUP

Sebagai seniman, keberpihakan adalah wajar, selama tidak menutup mata terhadap kondisi riil yang ada di sekitar. Bahkan, jika sekiranya keberpihakan itu dapat memicu polemik di masyarakat, lebih baik melakukan kontemplasi yang dalam sebelum mengeluarkan statement yang ambigu sehingga dapat dipelintir arti maknanya. Sikap kritis berkesenian selayaknya ditujukan untuk membangun kemanusiaan dan rasa empati terutama kepada rakyat kecil.

Semoga semangat humanisme universal yang diusung SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG dan MANIFESTO KEBUDAYAAN hendaknya tidak hanya sekadar menjadi catatan kaki kebudayaan Indonesia, tapi nyala api yang tak kunjung padam menerangi jembatan emas masa depan Indonesia Jaya.

Salam Indonesia.

Bandung, 24 Oktober 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun