Wahai tuan puan di sana
Tak lagi kudengar hentakan gemuruh
Dari tebing terjal yang lontarkan kerikil
Tenang kurasa singgahkan hatiÂ
Bukan.. Bukan itu
Ada yang usang kudengarÂ
Terbing terjal tenang tak berarti diam
Hanya tunggu waktu ketika alam sepakat
Tak ada kekuasaan mengikat alam
Semua risau seperti sambut pertanda tsunamiÂ
Alam tenang air menyusut
Hingga menjorok ke tengah laut
Janganlah kau rasa semua tenang
Alam kasih pertanda akan kemarahan
Tak kuat kau terima pertanda itu
Langit kelam udara dingin
Sekalipun jutaan kata teruntai
Tenang.. Tenanglah semua terkendaliÂ
Hanya ikan berserak menggelepar
Air pun surut
Tak ada apa apa teriak sang "Kufur"
Tenangnya alam bukan pertanda baik
Hanya sukma dan hati yang jernih membaca
Kita semua berujung kematianÂ
Bahkan ketika air surut hingga ke tengah laut pun
Kepongahan akan terus berlangsung
Tenanglah itu bukan apa apa
Kita tak bisa tenggelam dengan serangan alam
Kita sudah kuasai perlawanan alam
Tak tahukah kamu wahai tuan yang congkak
Semua yang melawan tak semestinya tangan terborgolÂ
Semua yang melawan tak juga harus di dera
Kamu bakal kecewa ketika sadari alam sudah tak berkawan
Waktu memiliki batas
Ketika sadari itu
Semua sudah terlibas di atas kecongkakannya
Kamu harus pergi jauhi arus balik zalim
Alam masih beri waktu
Sekalipun tak surut alam masih terus dialog
Tafakur tak lagi jadi jalan keluar
Ketika semua mata alam mengincarmu
Hentikan wahai sahabat..Â
Kamu congkak
Kamu takabur
Kekuasaan adalah fana
Lihatlah sekali lagi
Ada satu hal yang tak bisa kau lewati
Kematian..Â
Ya kematian
Borgol atau belenggu tangan tak kuat menahan rongga jiwa
Doa sudah mengalir dan berseru
Matilah kau wahai durjana
Kau mati dalam serbuan doa
Ku hanya ingin tenang
Damai dan salam penuh hangat
Negeri ini tak perlu bersemayam tak pada waktunya
(Isk)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H