Saya tahu isteri saya pandai Matematika. Saya pernah tak sengaja ketika membuka-buka ijazahnya mulai dari tingkat dasar hingga SMA saya sangat kenget ketika mendapati bahwa nilai Matematika ujian nasionalnya adalah 100. Sebuah nilai yang sangat sulit di dapatkan dari ujian nasional saya kira, bahkan untuk tingkat sekolah dasar pun.Â
Akhirnya ia lebih banyak mencurahkan perhatian untuk menghafal Al-Qur'an dan mengaji agama. Kuliahnya pun akhirnya tidak terurus dan akhirnya pindah kuliah yang kemudian mengantarkanya bertemu dengan saya, dan akhirnya kami memutuskan untuk menikah.
Setelah menikah, kami pun akhirnya pulang kampung (tempatnya di kampung saya) karena suatu alasan tertentu. Ia pun harus meninggalkan kuliahnya, teman, dan lingkungan-lingkungan komunitasnya yang selama ini dengan susah payah ia bangun. Begitu pula saya, saya harus meninggalkan pekerjaan, lembaga tempat saya mengajar selama beberapa tahun.Â
Saya pun harus meninggalkan teman-teman, kolega dan jaringan-jaringan yang selama ini telah saya bangun selama bertahun-tahun. Meski kami pulang kampung, dan tinggal di daerah kelahiran saya, tetapi kami harus memulai semuanya dari awal, karena memang dulu sebetulnya tidak pernah ada rencana untuk pulang pulang. Namun kehendak Tuhan berkata lain.
Saya pun harus mengabdi dari awal di sebuah lembaga yang baru dirintis. Kami, tepatnya saya pun harus membangun jaringan, kenalan dan semuanya dari awal lagi. Namun seiring perjalanannya waktu, setelah melalui berbagai liku perjuangan, akhirnya karir saya semakin baik, kondisi ekonomi saya juga semakin membaik seiring kehadiran dan bertambahnya anak-anak kami.
Di rumah isteri saya memutuskan hanya menjadi seorang ibu rumah tangga dan fokus mendidik anak dan seiring berjalannya waktu ia mulai melupakan segala angan dan citanya dan mulai menikmati perannya menjadi seorang ibu. Namun saya bisa mengamati bagaimana ia mendidik anak, terutama dalam hal pendidikan. Ketika anak pertama saya berumur satu tahun, ia sudah cukup pandai bicara dan mulai bisa mengungkapkan keinginanya.Â
Pada umur dua tahun ketika ia ajak ke Solo, oleh teman isteri anak saya di komentari "anakmu ini cerdas sekali lho. Jangan sampai salah didik" setelah berinteraksi dengannya. Bahkan pada umur-umur segitu ia sudah bisa menceritakan secara detil peristiwa yang dia alami. Pernah dia dinakali oleh seorang anak tetangga yang umurnya jauh lebih besar, dan ketika kemudian anak tadi ditanyai isteri saya apa yang dilakukan ke anak kami dia menceritakan hal yang berbeda, anak saya justru bisa membantahnya.Â
Dia bisa menceritakan dengan detil perlakuan yang diterimanya "bunda tadii kan kak Abil lagi ini... terus kak....begitu..." akhirnya si anak besar tadi tidak bisa mengelak. Alhamdulillah ketika menginjak umur 4 tahun anak saya sudah mulai hafal cukup banyak surat-surat pendek dalam al-Qur'an, dan kemudian perlahan mulai bisa membaca Al-Qur'an atau tulisan Arab.Â
Hafal berbagai doa untuk aktifitas-aktifitas sehari-sehari dan selalu ia praktekkan. Bisa menghitung sampai seratus. Pada umur kelima sudah mulai bisa membaca tulisan latin dan mulai bisa penjumlahan angka-angka sederhana. Hafal beberapa kata dalam bahasa Inggris, termasuk jenis warna dll. Padahal anak saya lebih banyak belajar di rumah oleh ibunya.Â
Mungkin karena ibunya lebih banyak di rumah, hingga setiap saat bisa mengawasi detil perkembangan motorik maupun kognitifnya. Ketika di sekolah ia selalu menjadi perhatiian guru-gurunya, karena mungkin dianggap peserta didik yang cerdas dan cepat tangkap. Beberapa bulan lalu ketika saya sedang di kamar sebuah hotel di Bandung bersama dua orang teman seprofesi, anaknya nelpon melalui video call, ia cerita banyak hal.Â
Setelah selesai menelpon seorang teman kemudian berkomentar, "Lho anaknya umur segitu kok sudah bisa menarasikan sesuatu dengan sangat detil ya pak. Narasi spasialnya juga sangat bagus".