Sebagai seorang dosen tentu saja dulu saya juga sering berharap suatu saat saya bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau bisa di luar, di kampus-kampus ternama di belahan dunia. Saya juga ingin bisa post doktoral di luar negeri. Dan melanjutkan mimpi-mimpi saya yang dulu. Bisa melahirkan karya-karya yang berkualitas dan dimuat di jurnal-jurnal ternama di luar sana.Â
Atau bahkan bisa melahirkan teori-teori baru seperti halnya orang-orang di luar sana, di luar negara kita. Itu harapan saya ketika masih menjadi seorang dosen muda. Namun entahlah saya sekarang sudah mulai merasa tidak muda lagi, meski umur saya baru sekitar 34. Saya, tepatnya kami sudah memiliki dua anak yang cakep, cerdas dan lucu. Anak kami yang pertama bernama Abil, tak terasa sudah berumur lima tahun. Sedangkan adiknya, Qumy sudah 2 tahun lebih.Â
Tentu saja setelah punya anak, melihat tumbuh kembang mereka, saya mulai melihat bahwa keluarga dan mereka lah prioiritas saya. Saya tidak lagi memiliki angan-angan yang muluk-muluk. Harapan dan angan saya alihkan ke enak-anak saya. Bisa hidup dekat dan menyaksikan tumbuh kembang anak-anak sungguhlah merupakan kebahagian tak terkira.Â
Maka harapan saya saat ini sudahlah beralih. Bisa merawat, membesarkan dan mendidik mereka dengan baik, dan kelak bisa memberikan pendidikan terbaik bagi mereka adalah harapan terbesar saya.Â
Bisa mengajar dan menikmatinya sebagai sebuah profesi, sambil terus menulis dan bisa melakukan penelitian sudah lah cukup bagi saya. Prioritas saya saat ini adalah anak-anak, maka saya selalu berharap angan dan cita-cita saya atau isteri yang belum kesampaian semoga kelak bisa diteruskan oleh mereka.
Istri saya dulu juga orang yang sangat idealis, dan memiliki cita-cita tinggi. Namun setelah kami menikah, berkeluarga, dan memiliki anak prioritasnya pun mulai berubah. Dulu isteri saya ketika sekolah mulai tingkat dasar hingga sekolah menengah selalu rangking 1 dan hampir selalu juara pararel di sekolah. Dia pun bercita-cita menjadi seorang dokter yang profesional, dan kelak bisa membantu banyak orang.Â
Namun karena suatu alasan tertentu (mungkin lebih bersifat ekonomi, Jika harus mengambil kedokteran yang terkenal mahal biayanya, istri saya harus memikirkan bagaimana biaya kuliah adik-adiknya kelak). Ia tidak bisa mengambil beasiswa karena profesi ibunya sebagai seorang PNS di salah satu instansi di kotanya.Â
Di sisi lain, ayahnya sebagai seorang pengasuh pesantren di desanya bukanlah orang yang secara ekonomi terbilang kaya, meskipun secara status sosial cukup dihormati. Akhirnya dia harus menahan cita-citanya utk mengambil di jurusan kedokteran di kampus ternama di Indonesia.Â
Padahal teman-temannya di SMA yang prestasinya di bawahnya banyak yang diterima di kampus-kampus ternama seperti UGM, UI, banyak juga yang diterima di fakultas kedokteran dan kelak menjadi seorang dokter.Â
Banyak juga temannya-temannya yang ketika SAMA rangkingnya jauh di bawahnya belakangan menjadi dosen, insinyur, dll. Ketika mengomentari hal semacam itu dia hanya mengatakan "dulu dia rangkingnya jauh di bawah aku lho" seolah mengeluh.
Akhirnya ia harus mengambil pendidikan Matematika di sebuah kampus negeri ternama di Solo, melalui jalur prestasi dan tanpa melalui seleksi masuk semisal SMPTN dan lainnya. Namun karena sejak awal itu sebetulnya bukanlah pilihan utamanya, ia pun kuliah sekenanya, dan masuk sekenanya meskipun begitu tetap sering mendapatkan IPK tertinggi di prodi yang dia ambil, bahkan sebagai imbalan dari prestasinya tersebut ia selalu mendapat beasiswa.Â