Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gus Baha, Pewaris Manhaj (Metode) Dakwah Mbah Moen Kah?

12 Desember 2019   22:27 Diperbarui: 12 Desember 2019   22:33 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal ini Gus Baha' menceritakan, "Saya itu nyantri di mbah Moen mulai sejak sangat kecil. Bahkan mungkin karena saking belum dewasanya, ketika ada mbah Moen lewat dan saya sedang bermain kelereng bersama Gus Ghofur (salah satu putera mbah Moen)  di depannya, saya tidak bergeming, dan tetap aja asyik main.haha... Dan saya nyantri sampai besar. Dan saya tak pernah kemana-mana.

Dan saya menyaksikan bagaimana mbah moen dalam mengajar, dalam berdakwah, saya juga sering mengikuti berbagai tahapan kehidupan yang dilalui yai (sebutan para santri mbah Moen kepada beliau)". 

Sebagai seorang santri, tampaknya Gus Baha' ingin mengatakan bahwa ia mengetahui banyak bagaimana mbah Moen dalam berdakwah, bagaimana mbah Moen dalam mengatasi berbagai persoalan hingga konflik.

Gus Baha' tampaknya adalah orang yang bebas dalam artian tidak suka terikat dengan urusan-urusan administrative atau menegemen organisasi apalagi birokrasi. Maka ketika beberapa kali PBNU menawarinya untuk menjadi pengurus syuriah pusat, Gus Baha'  selalu menolaknya. Namun kemudian belakangan Gus Baha'  menerimanya karena gurunya, kiai maimoen yang memintanya. kepada Gus Baha', mbah Moen berpesan agar ia bisa menjaga Indonesia " Indonesia itu harus kamu jaga. Bila perlu di lembaga NU itu kamu masukkan orang-orang dari berbagai latar belakang, termasuk dari berbagai partai politik...karena yang bisa menjaga Indonesia itu nasionalis dan raligius...dan jangan sampai  (di) Indonesia terjadi dosa sejarah pertumpahan darah (antar sesama anak bangsa)".

Saking prihatinnya mbah Moen terhadap memanasnya situasi dan kondisi perpolitikan di Indonesia belakangan menurut Gus Baha', sebelum bertolak ke Makkah yang kemudian mengantarkannya untuk menghadap keharibaan Tuhan, mbah Moen menuliskan sebuah doa yang kemudian dikirimkan untuk dibaca para santrinya. 

Di antaranya potongan kalimat dalam doa itu adalah "Allahumma alqi baynahuma ulfatan ma mawaddatan", "ya Allah pertemukan  mereka berdua (Jokowi dan Prabowo) dalam cinta kasih dan saling mengasihi". Ya sampai menjelang akhir hayatnya mbah Moen nginginkan agar kedua tokoh itu bersatu dan rukun.

Kita tentu merindukan munculnya tokoh-tokoh seperti mbah Moen, seorang tokoh yang arif, dan bijak dalam menyikapi persoalan politik, keagamaan hingga konflik. Tak heran cak Bakir, salah seorang wartawan senior harian Kompas, dalam acara 40 hari mbah Moen, ia menjuluki mbah Moen sebagai "juru damai". Saya pun sering mendengarkan berbagai kesan yang disampaikan oleh orang-orang yang pernah kenal, pernah dekat, atau mungkin hanya berkunjung satu dua kali ke mbah Moen. Baik dari kalangan pejabat, santri, masyarakat awam, hingga pejabat militer maupun kepolisian yang pernah bertugas di Rembang. Bagiamana mbah Moen bisa meninggalkan kesan yang dalam di mata mereka.

Di tengah-tengah orang saling mengumpat, saling menyebarkan kebencian, saling mengecam atas nama keyakinan (bahkan tak jarang hanya karena penafsiran) seperti yang terus terjadi belakangan di masyakat kita, terutama melalui media sosial, kita tentu merindukan akan adanya santri, murid, atau putera beliau yang suatu saat bisa muncul menjadi sosok seperti mbah Moen. Namun tentu saja itu tidaklah mudah. 

Saya yakin mbah Moen, bisa muncul menjadi sosok yang demikian, bukanlah hanya karena kedalaman ilmu agamanya, tapi juga spititualitasnya yang kemudian dipadukan dengan kekayaan pengalaman dan perjalanan kehidupan yang beliau lalui dalam berbagai aspek (sosial, politik, kegamaan), termasuk bergaul dengan orang dari berbagai latar belakang profesi, peran, hingga agama dan suku bangsa.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun