Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Beberapa Pertanyaan dari Seorang Muslim untuk Kampanye di GBK

11 April 2019   07:48 Diperbarui: 11 April 2019   08:12 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu (tepatnya 7/4/2019) masyarakat kita digegerkan oleh kampanye akbar yang dilakukan oleh paslon 02 di GBK (Gelora Bung  Karno). Pihak-pihak yang mendukung memuji kampanye itu mengirimkan pesan-pesan positif dan kemenangan bagi paslon 02. Sementara bagi pihak yang tidak setuju, peristiwa itu sengaja dibesar-besarkan dan dianggap ekslusif. 

Para Kompasianer sendiri terbelah menjadi dua. Beberapa tulisan bahkan masuk di kolom Head Line. Kompasiner Himam Miladi dengan postingannya berjudul "Kampanye Akbar Prabowo-Sandi, Pesan Kuat untuk Indonesia Berakal Sehat" memandang bahwa kampanye itu merupakan kampanyye paling fenomenal dalam sejarah demokrasi Indonesia dan dianggap mengirimkan pesan: rakyat menginginkan perubahan. 

Tulisan Kompasianer Asep Abdurrahman berjudul "Nila-nilai Pendidikan Kampanye 02 di GBK" dengan jelas memuji kampanye sebagai kampanye terbesar dalam sejarah Indonesia dan mengirimkan nilai-nilai pendidikan penting seperti didahuluinya salat tahajud dan jamaah subuh bersama. 

Sedangkan pihak yang cenderung kontra misalnya ditemukan dalam tulisan Kompasianer Edy Supriatna Syafei "Ucapan Prabowo "Ndasmu" Bikin Luka di Hati Warga" lebih menyinggung sisi temperamen dari seorang Prabowo dan kesalahan ucapanya yang dianggap melukai masyarakat. 

Tulisan Kompasianer, Felix Tani "Pelajaran Penting dari Kampanye Akbar Prabowo-Sandi untuk Jokowi-Makruf" yang juga masuk head line atau Artikel Utama bahkan lebih jauh memandang bahwa kampanye akbar itu mengirimkan pesan akan adanya khilafahisasi Indonesia jika paslon 02 menang. 

Tulisan Felix Tani yang merupakan seorang sosiolog saya anggap terlalu jauh prediksi atau hipotesisnya sehingga saya menurut saya perlu saya komentari dan saya kirimkan dua tulisan saya https://www.kompasiana.com/ayahabil/5c724987bde5754c52415ed4/populisme-islam-dan-politisasi-agama-islam-di-indonesia dan https://www.kompasiana.com/ayahabil/5c5f8ab012ae94467d7cb4e6/fadli-zon-mbah-moen-dan-polarisasi-pemilih-modernis-vis-a-vis-tradisional.

Saya akan mengulas peristiwa ini mungkin dari sudut yang berbeda. Justru saya melihatnya peristiwa ini semakin menguatkan tesis tentang meningkatnya politisasi agama dan semakin menandai populisme Islam. Saya sendiri pernah mengulas ini dalam tulisan saya yang saya sebut pertama.

Surat SBY ke Prabowo bahwa kampanye itu terlalu ekslusif tampaknya ada benarnya. Jika memang ingin membawa perubahan atas nama Indonesia yang majemuk dan beragam mestinya paslon 02 tidak hanya menyeret dan menghadirkan satu warna agama, Islam. Ini justru menunjukkan ekslusifitas dari kampanye tersebut. Tidak hanya itu, menurut saya ini juga semakin menunjukkan menguatnya politisasi agama (Islam).

Jika kampanye itu membawa-bawa Islam, sebagai seorang Muslim saya justru ingin mengajukan banyak pertanyaan. Ini terlepas dari dukung mendukung salah satu calon. Jika paslon 02 mengirim pesan "sok" Islami? Apakah mereka kemudian ingin menegaskan pesan yang sebaliknya: paslon 01 tidak Islami. Tidak membela Islam dan lain sebagainya?. 

Jika ini terjadi alangkah egoisnya kita. Alangkah naifnya bangsa ini menarik-narik agama (Islam) yang sakral hanya demi kepentingan politik praktis yang profan. Bukankah paslon 01 dua-duanya juga seorang muslim, bahkan wakilnya adalah seorang ulama, mantan ketua umum MUI dan Rais Am (pemimipin tertinggi) PBNU?

Siapa yang bisa menjamin bahwa paslon 02 lebih islami dan lebih membela Islam dari pada paslon 01? Atau mungkin sebaliknya? Pernahkah ada dalam sejarah Indonesia seorang presiden berjuang untuk agama tertentu? Bukankah dalam sejarah Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga sekarang ini yang memperjuangkan dan mendakwahkan agama (Islam) adalah para ulama (dalam arti yang sebenarnya), pesantren-pesantren, NU, Muhammadiyah dan organisasi-organisi Islam lainnya (tentu saja tidak bisa saya sebut semuanya)?

Kampanye di GBK didahului dengan shalat tahajud dan kemudian jamaah subuh berjamaah. Mungkin ini niatnya baik, tapi pantaskah atau benarkah itu islami? Saya justru ingin bertanya jika memang dianggap benar-benar Islami dan didahului oleh tahajud, jamaah subuh dan doa bersama dan lain sebagainya bagaimana seandainya nanti paslon kosong 02 tetap kalah? Siapa yang patut disalahkan? Jangan-jangan malah nanti Tuhan (Allah) yang disalahkan.hehe.

Ada banyak hal yang menurut saya perlu dipertanyakan sebagai seorang muslim. Misalnya bagaimana status orang yang shalat subuh di GBK? Apakah semua bisa menghadap ke kiblat atau ke arah kiblat dengan bentuk GBK yang melingkar seperti itu? Sah kah salat yang tidak menghadap ke arah kiblat? Tentu orang muslim yang paling sederhana pengetahuannya tentang Islam pun akan menjawab, tidak sah. 

Salat hanya boleh tidak menghadap ke kiblat atau ke  arah kiblat hanya ketika dalam kondisi darurat, misalnya sedang tersesat sementara waktu salatnya sudah mau habis, atau sedang dalam perjalanan (di kendaraan) yang tidak mengarah ke arah kiblat dan tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat. 

Mungkin kita bisa berkilah, o ini kan darurat? Tapi benarkah sesuatu yang direka/ disengaja diciptakan kondisinya bisa dianggap darurat? Apalagi untuk kepentingan yang profan: kepentingan politik dan kekuasaan. 

Bukankah di sekitar masih banyak masjid, lapangan, jalan dan tempat-tempat  dimana orang-orang bisa salat menghadap kea rah kiblat. Itu belum pertanyaan-pertanyaan lanjutannya, misalnya apakah salat semua berdiri? Sah kah salatnya? Bagaimana orang yang ada di tribun? Saya kok belum pernah tahu ada ulama membolehkan salat fardu dalam keadaan duduk bukan karena sakit atau darurat?

Saya justru ingin bertanya lagi apakah hanya untuk kepentingan dan tujuan politis tertentu orang boleh mengorbankan salatnya? Bukankah salat merupakan salah satu rukun Islam yang utama, kedua setelah sahadat? Bukankah salat adalah imadud din, tiang agama (Islam), lalu pertanyaannya apakah kampanye akbar lebih penting dari pada salat? 

Bukankah dalam keadaan dalam perang yang sedang berkecamuk pun seorang Muslim harus tetap diwajibkan untuk menjalankan salat dengan benar? Atau jangan-jangan pemilu 2019 ini kita anggap sebagai perang antara muslim dan kafir? Oh...alangkah naifnya ego dan nafsu duniawi kita, menyeret-nyeret agama hanya untuk kepentingan perebutan kekuasaan.

Saya pun akan mempertanyakan ini kalau seandainya peristiwa ini terjadi pada paslon 01. Menurut saya pribadi, bukankah lebih elok dan pantas jika masing calon saling berdebat dan beradu argument mengenani visi-misinya untuk di Indonesia. Bukan malah saling menjatuhkan apalagi menyeret-nyeret agama tertentu untuk kepentingan dan tujuan politis sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun