Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Seorang Perempuan TKI di Arab Saudi dan Nasib Anak yang Ditinggalkannya

15 Februari 2019   22:01 Diperbarui: 15 Februari 2019   22:19 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pun tak habis pikir pantaskah orang seperti itu disebut lelaki. Memang orangnya berpenampilan lumayan kekar dan agak sangar. Tapi seperti itukah yang disebut lelaki? Orang yang hanya bisa mengandalkan nafkah kiriman dari istrinya yang justru dibiarkan pergi keluar negeri dan membanting tulang di sana. Saya sebelum berumah tangga seperti mendapat pelajaran yang sangat berharga dari cerita ini.

Pagi hari berikutnya, ketika saya nyantai di pelataran rumah paman Hasan, sebelum mau berangkat ke pantai saya di kejutkan oleh pemandangan yang cukup mengagetkan. Ada suara tangisan anak kecil. Ya tangisan anak kecil yang saya ceritakan tadi. suaranya cukup keras.

Pada saat bersamaan ada suara orang membentak-mentak. Ya itu ayahnya. Kemudian si ayah tampak keluar dan menenteng tepatnya menyeret anaknya keluar.

Sambil membentak-bentak anak kecil itu ditendanginya. Saya tidak begitu paham bahasa ngapak Kebumen, tapi saya tahu si ayah membentak dan memarahi anak kecil itu. Entah apa masalahnya. Saya tak tega melihat anak umur segitu dibentak-bentak dan ditendangi ayahnya.

Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya di sini hanya mampir, bahkan tak kenal orang itu.

Mau berbuat sesuatu takutnya dianggap ikut campur urusan orang.  Beberapa lama kemudian si ayah mengajak si anak untuk muter-muter naik motor. Mungkin itu cara satu-satunya lelaki itu menghibur anaknya setelah sebelumnya dibentak-bentak dan ditendanginya. Dan sepertinya itu yang biasanya dilakukannya.

Peristiwa itu jadi pelajaran penting setidaknya untuk diri saya sendiri. Ingatan saya tentang peristiwa itu juga seperti masih terekam dengan baik hingga saat ini.

Anak seumur itu, sudah jauh dari ibunya, tapi sering diperlakukan secara kasar oleh ayahnya lagi. Saya pun kemudian bisa memahami peristiwa yang sehari sebelumnya terjadi: kenapa anak itu untuk sekedar menerima kebaikan dari orang lain saja dia justru takut.

Padahal usia-usia segitu, usia 1-5 tahun sering dikatakan sebagai usia emas untuk perkembangan anak. Usia terbaik untuk perkembangan psikologis dan kecerdasan seorang anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun