Selain sebagai ketua umum Nahdlotul Wathan, TGB juga merupakan ketua umum ikatan alumni universitas Al-Azhar Mesir. Kemaren (8/2) TGB dalam postingan Instagramnyajuga mengklaim bahwa Yusuf Mansur juga mendukung Jokowi. Jika klaim ini benar, maka ini akan semakin menguatkan gerbong muslim tradisional ke pihak Jokowi. Â
Meskipun NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah secara organisasi tidak berpolitik praktis dan tidak menyatakan mendukung calon tertentu, tapi polarisasi ini sulit dihindari. Di masyarakat NU dan pesantren misalnya akhir---akhir ini beredar kasak-kusuk "jika Prabowo terpilih habislah kita. Jika Prabowo terpilih pasti pesantren (NU) akan dipinggirkan". Jika dilihat secara historis kekahwatiran seperti sebetulnya ini juga beralasan.Â
Selama Soeharto berkuasa selama tiga puluh tahun misalnya, masyarakat NU cenderung dipinggirkan. Soeharto dalam kebikan-kebijakannya dianggap lebih berpihak kepada kelompok modernis seperti Muhammadiyah. Apalagi kubu Prabowo didukung oleh orang-orang modernis atau bahkan Islamis yang menurut Nakamura tak jarang sering kali merasa benar sendiri.Â
Istilah yang dimunculkan Amin Rais "Hizbus syaithon" atau "partai setan" yang ditujukan kepada partai pendukung Jokowi setidaknya menunjukkan hal tersebut. Sikap merasa benar sendiri dan cenderung tidak menerima perbedaan dari pihak-pihak modernis seperti ini pula yang tampaknya membuat kelompok tradisonal kurang nyaman.Â
Polemik yang panjang dalam sejarah Indonesia antara muslim modernis dan muslim tradisional, meskipun menjelang era reformasi mulai mereda, saya yakin juga menjadi rujukan mereka dalam mengambil sikap politiknya.Â
Kasus Sandi yang saya sebut di atas ditambahkan lagi puisi Fadli yang dianggap merendahkan kiai Maemoen akan semakin menegaskan pandangan muslim tradisional. Setidaknya ini menunjukkan kubu Prabowo tidak memahami dunia Islam tradisional dengan baik.
Sebaliknya di kalangan kelompok modernis juga demikian. Di kalangan modernis juga beredar issu yang sealiknya. Selama Jokowi memerintah mereka merasa kelompok tradisional seperti NU yang lebih banyak diuntungkan. Di akar rumput masyarakat Muhammadiyah dan kelompok modernis lain misalnya kita bisa merasakan slentingan-slentingan tersebut.Â
Meski ada beberapa menteri Jokowi yang diambil dari Muhammadiyah tapi itu tampkanya belum cukup bisa meredam kegelisahan tersebut. Bahkan belakangan Ali ketika Mochtar Ngabalin dan Yusril Ihza Mahendra yang juga berlatar belakang modernis, masuk dalam tim kubu Jokowi, tampaknya tidak cukup berpengaruh di kalangan kelompok modernis. Â
Demikian pula di kalangan kelompok islamis seperti PKS dan HTI. PKS misalnya dalam 4 tahun roda pemerintahan selalu mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah. Pun dengan HTI yang bahkan dibubarkan oleh pemerintahan Jokowi.Â
Di pilpes 2019 kelompok Islamis saya kira akan bertarung "mati-matian" untuk bisa memenangkan kubu Prabowo karena akan terkait dengan eksistensi dan kepentingan-kepentingan mereka secara politis maupun ideologi keagamaan ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H