Bisa dikatakan saat ini adalah eranya jurnal ilmiah di Indonesia. Dalam kurun 5 tahun terakhir misalnya jumlah publikasi ilmiah di negara kita terus mengalami peningkatan. Jumlah publikasi di jurnal ilmiah baik di dalam maupun di luar negeri oleh para dosen/ akademisi dan peneliti di negara kita terus mengalami peningkatan. Demikian pula jumlah jurnal ilmiah dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan juga terus mengalami peningkatan. Tidak hanya jumlahnya tapi juga kualitasnya saya kira.
Peringkat publikasi di Scopus (indeks jurnal yang dianggap paling diakui di dunia global) misalnya belakangan terus meningkat. Pada 2017 kemaren misalnya peringkat Indonesia di ASEAN berada di nomor 2, setelah Malaysia yang berada di peringkat teratas. Padahal 3 tahun sebelumnya Indonesia berada di peringkat 5, di bawah Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam.Â
Jika kilat lihat di Scopus sejak 2014 adalah begini: pada 2014 ada 60.258 dokumen; pada 2015 ada 61.385 dokumen; pada 2016 ada 67.261; pada 2017 ada 75.059 dan pada 2018 sejumlah 54331.
Sedangkan data yang ada di Google Scholar (indek jurnal ilmiah yang paling mendasar) adalah sebagai berikut: pada 2014 sejumlah 12.7220; 2015 sejumlah 150.259; 2016 sebanyak 186.843; pada 2017 sejumlah 223.863 dan 2018 sejumlah sebanyak 164.904. Data tersebut dihitung per tahun. Untuk 2018 dianggap masih tahun berjalan, karena biasanya jurnal-jurnal edisi no 2 (jika jurnal per tahun tebit 2 kali) atau nomor 3 (jika jurnal per tahun terbit 3 kali) di awal-awal tahun setelahnya seperti ini belum bisa terbit alias masih dalam proses review.
Demikian pula jumlah jurnal ilmiah dalam negeri juga terus mengalami peningkatan. Di Sinta (Indek Ilmiah yang dikembangkan oleh Kemenristek Dikti) hingga saat ini lebih dari 2275 jurnal di seluruh Indonesia yang terdata. Jumlah ini terus mengalami peningkatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada 2017 misalnya hanya sekitar 20an jurnal di Indonesia yang terindeks data base internasional dan terakreditasi A oleh kemenristek. Saat ini, hingga tulisan ini dibuat sudah ada 52 jurnal yang terindeks internasional bereputasi dan terakreditasi A (lihat sub S1 dalam bagian Sources, di laman SINTA, www.sinta2.ristekdikti.go.id).Â
Demikian pula jurnal terakreditasi (B) saat ini berjumlah 550an, padahal sebelumnya pada 2017 hanya berjumlah 450an. Jurnal-jurnal itu terdiri dari berbagai cabang ilmu pengetahuan maupun rumpun keilmuan. Di S1 (SINTA 1) yang merepukan ring 1 jurnal di Indonesia ada beberapa cabang keilmuan mulai dari komputing, engineering, Biologi, Kimia, Kedoktrean, ilmu Sosial dan Religious study, Geo Scinece, Farmasi, Mikrobiologi, hingga Liguistik dan Humaniora, hingga pendidikan.Â
Itu setidaknya menunjukkan bahwa riset2 di berbagai bidang tersebut telah diakui secara globally recognized. Bahkan beberapa jurnal telah masuk Q2 indeks Scopus yang berarti telah masuk ring 2 jurnal internasional. Yang juga cukup mengejutkan, Kementrian Agama yang dulu dianggap sering hanya sebagai kementrian "dakwah" kini telah memiliki 5 jurnal internasional bereputasi salah satunya Studia Islamika merupakan jurnal bidang ilmu sosial paling terkemuka di negara kita, dan sekitar 70an jurnal terakreditasi. Â
Indeks SINTA tidak hanya bisa mendata publikasi jurnal tetapi juga mendata dan memeringkat tingkat publikasi per lembaga atau universitas, tingkat publikasi per individu akademisi atau peneliti, jumlah peneliti, buku yang ditulis dan juga IPR (Intellectual property right) yang meliputi hak cipta dan hak paten. Hingga kini misalnya terdata 5247 IPR.
Perkembangan yang signifikan ini, tampaknya pararel dengan kebijakan yang ada. Setidaknya sejak 5 tahun terkahir pemerintah melalui Kemenristek, LPDP, Kemenag dan juga beberapa lemabaga riset seperti LIPI menaikkan anggaran riset secara signifikan. Demikian pula adanya program hibah yang diberikan kepada para akademisi dan peneliti yang berhasil melakukan publikasi di jurnal-jurnal internasional bereputasi. LPDP misalnya mematok Rp 50 hingga Rp 100 juta untuk setiap publikasi jurnal internasional yang dianggap memenuhi persyaratan yang ditentukan.Â
Demikian pula Kemenristek dan Kementrian Agama mereka memberi penghargaan antara 35 sampai 50 juta per publikasi di jurnal internasional bereputasi. Itu belum termasuk perhargaan yang diberikan oleh kampus atau lemabaga riset tempat yang bersangkutan bernaung. Ada beberapa perguruan tinggi yang juga memberikan bonus kepada setiap dosennya yang publikasi di jurnal internasional bereputasi.Â
Universitas Sebelas Maret Solo misalnya pada 2016 memberikan Rp 25 Juta untuk setiap publikasi di jurnal internasional yang berhasil ditembus oleh dosennya. Â Kebijakan ini juga diperketat oleh peraturan Kemenristek yang misalnya mewajibkan setiap profesor/guru besar per 3 tahun mereka minimal harus bisa menerbitkan 1 jurnal di publikasi di jurnal internasional dan 3 artikel di jurnal terakreditasi. Jika tidak mampu memenuhi persyaratan, tunjangan guru besar yang bersangkutan akan ditangguhkan bahkan tidak diberikan.Â
Hal ini juga berlaku bagi akademisi yang sudah memiliki jabatan fungsional Lektor Kepala (Associate profesor), per 3 tahun mereka harus publikasi minimal di 3 jurnal terakreditasi atau 1 jurnal internasional. Dari total dosen dan peneliti yang sudah terverifikasi di SINTA sebanyak 152.309 (jumlah seluruhnya sekitar 250an ribu), ada 4157 profesor dan 20486 Lektor Kepala. Jika total jumlah peneliti yang terdaftar itu setiap tahun melakukan penelitian dan menghasilkan publikasi ilmiah atau hak paten, maka kuantitas dan kualitas publikasi ilmiah kita akan terus meningkat.
Hasil-hasil yang di terbitkan di jurnal-jurnal yang ada di seluruh universitas dan lembaga riset dan litbang kementrian sekarang juga bisa kita akases secara terbuka melalui laman jurnal terkait atau melalui laman Science and Technology Index (SINTA) di sinta2.ristekdikti.go.id. Â
Tingkat Publikasi Ilmiah dan Kemajuan Sebuah Bangsa
Tingkat publikasi jurnal ilmiah sebuah negara sering dikaitkan dengan tingkat kemajuaannya. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat adalah negara-negara yang tingkat publikasi ilmiahnya tinggi.
Kemajuan publikasi ilmiah suatu negara berarti terkait dengan kemajuan riset dan ilmu pengetahuan negara yang bersakutan. Cina dan Korea Selatan adalah contoh negara di Asia yang tingkat publikasi ilmiahnya sangat tinggi. Cina misalnya, kabarnya memberikan dana besar-besaran untuk kepentingan riset dan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Mereka juga memberikan hibah besar kepada setiap akademisi dan peneliti yang melakukan publikasi di jurnal internasional bereputasi. Dari sini para akademisi di Cina berlomba-lomba untuk melakukan riset dan kemudian menerbitkannya di jurnal-jurnal internsional. Mereka juga berlomba-lomba untuk mencari temuan-temuan terbaru dan melakukan inovasi.
Publikasi jurnal internasional Cina sangat melimpah. Korea Selatan kabarnya juga tak jauh berbeda. Ketua  LP2M (lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) UNS, misalnya pernah menceritakan bahwa di Korsel, setiap tahun lembaga berwenang justru mendatangi kampus-kampus yang ada, mereka secara pro aktif menanyakan inovasi-inovasi dan temuan-temuan untuk kemudian didata dan diuruskan hak cipta dan patennya.
Tidak hanya sampai di situ hasil-hasil riset itu kemudian diikuti oleh kebijakan pemerintah yang mendukung. Ini yang tampaknya masih belum bisa berjalan dengan baik di negara kita. Di Indonesia untuk mengurus hak paten dan hak cipta masih cukup "berliku" prosesnya. Sehingga para peneliti atau ilmuwan yang telah menemukan temuan-temuan riset dan inovasinya sering kali harus lagi direpotkan untuk sekedar mengurus hak paten.
Demikian pula kebijakan pemerintah di Korsel kabarnya menjadikan laboratorium-labotorium riset universitas satu atap dengan industri, sehingga setiap temuan dan inovasi terbaru (tentu saja di bidang ilmu terapan) kemudian ditindaklanjuti dengan produksi dan pengembangan. Hal ini membedakannya dengan di negara kita.
Di sini antara lembaga riset, laboratorium riset perguruan dan industri tidak ada saling kaitan alias berjalan sendiri-sendiri. Sehingga hasil-hasil riset, temuan-temuan dan inovasi ilmuwan kita seringkali hanya berhenti pada publikasi ilmiah atau hak paten. Namun setidaknya kita masih beruntung riset dan publikasi ilmiah di negara kita mengalami kenaikan yang signifikan, artinya ilmu pengetahuan di negara kita bisa berkembang tinggal kedepan bagaimana pemerintah bisa membuat kebijakan yang bisa mendukung ke arah sana.
Program hilirisasi (produksi) hasil riset yang diinisasi oleh Kemenristek setidaknya menjadi langkah awal untuk mencapai cita-cita tersebut, meskipun tentu saja masih banyak kekuarangannya di sana sini.
Selain tidak adanya kebijakan satu atap antara laboratorium/lembaga riset dengan industri, hilirisasi riset kadang terkendala kepentingan politik tertentu yang bersifat pragmatis. Mungkin ada benarnya salah satu klaim dari lembaga riset di Australia yang dikutip oleh profesor Ravik Karsidi dalam presentasi Dewan Riset nasional akhir tahun kemaren, bahwa Indonesia selama ini membangun "tanpa pengetahuan".
Tantangan Hoaks
Di tengah meningkatnya riset dan publikasi ilmiah di negara kita, ada persoalan baru yang cukup menjadi tantangan, penyebaran hoaks dan penyebaran ujaran kebencian. Ini juga perlu ditangani dengan serius. Contoh kasus beberapa negara Timur Tengah dan di Mesir misalnya hoaks dan penyebaran ujaran kebencian menyebabkan negara tersebut jatuh ke arah chaos pada 2012, bahkan hingga sekarang demokrasi berjalan mandek. Hoaks dan ujaran kebencian juga bisa berpotensi memecah belah bangsa.
Negara kita belakangan mendapat tantangan besar dari hoaks dan ujaran kebencian terutama melalui media-media sosial. Hasil-hasil penelitian yang ada juga menunjukkan meningkatkanya radikalisme baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Hoaks dan ujaran kebencian terutama yang dibungkus atas nama agama bisa mendorong ke arah radikalisme.
Sayangnya belakangan banyak pihak yang justru terlibat saling memaki saling menyebar kebencian melalui media sosial, tidak sedikit pula yang suka menebar hoaks demi tujuan politik dan kelompok tertentu. Apalagi menjelang pemilu seperti saat ini. Padahal di era post truth, sesuatu yang tidak benar, tidak otoritatif akan menjadi menjadi atau setidaknya dianggap benar jika populer, sering dishare, dan banyak yang nge-like.
Sangat disayangkan pula, di saat para akademisi dan peneliti kita berjibaku melakukan penelitian, kadang harus membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun, tidak sedikit yang harus meninggalkan rumah dan keluarga, belum lagi harus bergelut para reviewer jurnal bereputasi yang seringkali sangat "killer" semua demi menghasilkan riset-riset yang bermutu, di sisi lain, tidak sedikit politisi dan publik figur kita yang justru saling mengumpat, memaki dan menebar benih-benih kebencian sesama anak bangsa. Padahal mestinya disadari hoaks, ujaran kebencian tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kekacauan dan kerusakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H