Gb. RA. Kartini
Sebuah naskah (manuskrip) tafsir Al-Qur'an tersimpan di sebuah ruangan di bagian depan di Museum Kartini. Naskah itu berjudul  Tafsir Fayd a-Rahman fi Kalam al-Malik ad-Dayyan yang ditulis oleh kiai Soleh Darat atau Muhammad Solih as-Samarani (1820-1903 M) seorang ulama besar yang tinggal di sebuah desa yang disebut Darat, di Semarang. Kiai Soleh Darat sendiri juga merupakan guru dari banyak ulama besar tokoh-tokoh Islam terpenting. Kiai Hasyim Asy'ari, pendiri NU (Nahdlotul Ulama) pernah belajar kepada kiai Soleh Darat.Â
Demikian pula kiai Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah. Meskipun pernah lama tinggal dan belajar di Mekah, tapi kiai Soleh Darat lebih memilih menulis karya-karya melalui aksara Pegon berbahasa Jawa, selain agar bisa dipahami oleh masyarakatnya, beliau sebetulnya juga ingin menunjukkan bahwa untuk bisa diterima dan memperoleh rahmat Tuhan, seorang muslim tidak harus mengerti bahasa Arab, apalagi harus ke-Arab-Araban.Â
Seorang Muslim Jawa, bisa menjadi muslim yang saleh sekaligus menjadi  Jawa "tulen".  (lihat Saiful Umam, God Mercy is Not Limited to Arabic Speaker: Reading the Intellectual Biography of Muhammad Salih as-Samarani and His Pegon Texts).
Di dalam kotak kaca yang menyimpan naskah tersebut tertulis, "Tafsir Al-Qur'an berbahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon karya Kyai Soleh Darat yang dihadiahkan kepada RA Kartin". Kartini sendiri sebelumnya sering mengikuti pengajian kiai Soleh Darat yang diadakan di pendopo kabupaten Demak. Bahkan beberapa sumber menyebut bahwa melalui ajaran-ajaran yang diperoleh dari kiai Soleh Darat lah RA Kartini kemudian menjadi yakin untuk mau menikah dengan RM. Djojohadiningrat, padahal sebelumnya menolaknya (Umam, 248).Â
Mungkin karena hal tersebut kiai Soleh Darat kemudian menghadiahkan sebuah buku terjemah dan tafsir Al-Qur'an itu kepada Kartini. Naskah itu kemudian disimpan oleh Kartini. Saya yakin, RA Kartini sering membaca naskah itu. Kartini memang mulai mempelajari isi Al-Qur'an setelah mengikuti pengajian-pengajian yang disampaikan oleh kiai Soleh Darat sebelum dia menikah.Â
Barangkali pula, slogan "Habis gelap terbitlah terang" yang sering disematkan kepada Kartini, juga diserap olehnya melalui naskah itu. Ungkapan itu dengan sebuah (terjemah) ayat al-Qur'an "min azhzhulumat ila an-nur" atau "dari gelap, menuju ke cahaya". Bisa jadi Kartini membacanya dari terjemah dan tafsir yang ditulis oleh kiai Soleh Darat itu.
 Gb. Manuskrip tafsir
Melihat lebih jauh koleksi-koleksi di museum Kartini kita setidaknya akan mendapatkan gambaran awal tentang tokoh emansipasi ini. Kartini orang yang rajin menulis dan mencatat , berkorespondensi, belajar menjahit dan mungkin juga mem-batik, dan juga seorang yang religius. Ia juga membaca dan mempelajari tafsir Al-Qur'an, padahal ketika itu akses untuk memahami terjemah Al-Qur'an cukup sulit, mengingat ketika itu beredar fatwa tentang pengharaman terjemah Al-Qur'an yang didukung dan disebarkan oleh Belanda.Â
Namun Kartini beruntung, menerima terjemah Al-Qur'an dari gurunya tersebut sehingga ia bisa mempelajarinya. Selain itu tampaknya RA Kartini juga menguasai bahasa Inggris dengan baik, hal itu tercermin dari beberapa tulisannya yang ditulis berbahasa Inggris. Ia juga mengauasai bahasa Belanda dengan baik, sebuah tulisan tangan yang diberi keterangan "Kongso Adu Jago Bahasa Belanda" menjadi bukti ia mahir menulis berbahasa Belanda.Â
Disamping itu ia tampaknya juga bisa meracik jamu, terdapat peninggalan tempat meracik jamu juga di sana. Menurut catatan yang ada di museum RA Kartini meninggal empat hari setelah melahirkan putra pertamanya Sosalit yang lahir pada 13 September 1904, dan dimakamkan di Mantingan, Bulu, Rembang. Kartini jelas perempuan yang visioner untuk jamannya.