Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana, Aktivitas Menulis, Jurnal Ilmiah dan Catatan Harian

30 Januari 2019   08:52 Diperbarui: 30 Januari 2019   09:29 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pertengahan Desember yang lalu saya mendaftar di Kompasiana, tapi baru beberapa hari terkhir akun bisa saya buka. Dan mungkin karena saking antusiasnya atau entahlah apa namanya saya lupa tidak menyampaikan salam perkenalan, tidak menyapa kawan-kawan Kompasioner yang lain, tapi malah langsung menulis beberapa artikel.

Saya sebetulnya mengenal kompasiana sudah cukup lama. Karena sering baca Kompas online, dari sanalah saya mengenal Kompasiana. Tapi saya agak lupa entah sudah berapa tahun. Waktu itu sekilas saya melihat Kompasiana hanya sebatas bentuk latihan dari citizen journalism, atau mungkin sekedar "platform" yang berisi kumpulan yang sedang belajar latihan menulis. 

Atau latihan ngeblog mungkin tepatnya. Dan waktu itu saya tidak begitu mempedulikannya, saya pun lebih suka membaca rubrik-rubrik KOMPAS yang lainnya semisal "Internasional", berita politik, dan tentu saja head linenya.

Tapi belakangan saya mulai melihat sesuatu yang beda. Ternyata meskipun sekilas, saya lihat yang aktif di Kompasiana ternyata orang dari berbagai latar belakang yang berbeda, entah itu rumpun keilmuan, budaya, pekerjaan, dan lain sebagainya. 

Ada banyak pakar juga di situ. Dan yang paling penting, banyak tulisan-tulisannya yang ternyata menarik dan inspiratif. Dari situ mulai muncul ketertarikan pad diri saya.

Dulu ketika masih mahasiswa saya terbiasa menulis catatan harian. Tentu saja di buku harian. Saya menuliskan apa saja. Dan setelah saya lulus ternyata tulisan-tulisan itu memenuhi buku-buku harian yang jumlahnya cukup banyak, bahkan bertumpuk-tumpuk. Saya menulis catatan harian setidaknya mungkin selama 9 tahun.

Meski tidak pernah terbit atau mungkin dibaca orang, tapi setidaknya saya bisa banyak belajar di sana, setidaknya belajar menulis, belajar merangkai kata, belajar mendiskripsikan sesuatu dan seterusnya. Dan itu ternyata menjadi bekal bagi profesi saya saat ini. 

Saya kebetulan saaat ini menjadi pengajar di sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah. Seorang akademisi atau dosen, mungkin bisa disebut begitu. Salah satu kewajiban dosen adalah penelitian. 

Seorang dosen harus bisa melakukan penelitian, tentu saja sesuai dengan rumpun atau bidang keahliannya. Hasil penelitian itu harus diterbitkan di jurnal ilmiah. Jurnal ilmiah tentu saja memiliki akrakter atau style yang berbeda dari tulisan populer apalagi sastra. Karena tulisan ilmiah tidak menghendaki bahasa-bahasa yang bersajak, bertele-tele, atau bahkan mendayu-dayu. Tapi ia menghendaki bahasa-bahasa yang singkat, padat, jelas dan kadang agak kau. Mungkin karena terdorong oleh sebuah kewajiban, sejak menjadi akademisi saya beralih dan lebih memilih menulis di jurnal. 

Padahal menulis di jurnal tentu saja prosesnya cukup panjang, paling gak untuk jurnal-jurnal yang sudah terakreditasi atau sudah bereputasi. Proses waktu di jurnal membutuhkan waktu berbulan-bulan--bahkan konon untuk jurnal-jurnal  paling ternama di Barat proses review bisa samapai 3-4 tahun setelah melewati 3 sampai 4 reviewer--, harus melewati setidaknya satu atau dua blind reviewers, harus siap diminta revisi setiap saat dan harus siap pula menghadirkan data-data baru jika diminta, baru kemudian bisa terbit. Itu pun kalau tidak menunggu antrian panjang karena saking banyaknya artikel yang disubmit.

Konon banyak akademisi , dosen, apalagi yang sudah guru besar, yang tidak mau menulis populer, apalagi menulis di blog, karena mungkin baginya tidak prestise, hanya sekedar "iseng" apalagi tentu saja tidak bisa menunjang karir. 

Sekadar perbandingan misalnya menulis satu artikel di koran nasional hanya akan dapat poin satu (1), dibanding dengan menerbitkan artikel di jurnal terakreditasi dengan 25 poin atau bahkan 40 untuk jurnal yang sudah internasional.  

Bahkan ada seorang dosen, sudah profesor,  di sebuah kampus negeri ternama di Jawa Tengah yang pernah mengatakan, "dosen itu kelasnya menulis di jurnal internasional, menulis (opini/artikel) di koran, itu kelasnya mahasiswa". 

Pernah juga seorang dosen UGM, sudah profesor, bercerita kepada saya, "sekarang kawan-kawan di UGM itu jadi pada syndrom Scopusism (Scopus salah satu indek jurnal ilmiah yang konon paling "Globally  recognized") yang dipikirkan hanya bagaimana bisa menerbitkan artikel di jurnal terindek Scopus". Setiap kali yang dipikirkan hanyalah bagaimana bisa menerbitkan artikel di jurnal-jurnal bereputasi. Itu mimpi dan obsesi saya. Sebagai seorang pengajar muda saya juga awalnya ikut beranggapan seperti itu. 

Jurnal memang penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan.Bahkan tingkat publikasi jurnal biasanya juga dikaitkan dengan tingkat kemajuan sebuah bansga. Namun tentu saj jurnal memiliki kelemahan-kelemahan. Jurnal  tidak bisa menjangkau publik secara luas, jurnal biasanya hanya dibaca oleh orang-orang yang sesuai dengan rumpun ilmunya. 

Jurnal, mungkin saja juga bisa membuat bahasa orang menjadi "kaku", rigit. Bahkan mungkin tidak hanya orangnya, bisa jadi juga sikapnya. Seorang kawan misalnya berseloroh, "jurnal, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat".

Saya senang sekali bisa bergabung dengan menjadi Kompasioner. Meski saya tidak begitu memahami seluk-beluk kompasiana, bahkan mungkin untuk hal-hal kecil misalnya apa  beda kolom "Pilihan Editor" dan "Topik Pilhan, dan lain sebagainya. 

Namun  setidaknya saya bisa kembali belajar menulis catatan, belajar menulis populer. Belajar lagi menulis sastra dan lain sebagainya.  Syukur-syukur tulisan saya bisa dibaca dan bermanfaat atau setidaknya saya bisa bertegur sapa, berkomunikasi dengan orang dengan berbagai latar belakang. 

Saya dulu misalnya sering menulis puisi, dan beberapa pernah dimuat media, namun entah karena apa sekarang gak bisa lagi sepertinya.

Salam, Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun