Mohon tunggu...
Andri Tarigan
Andri Tarigan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Twitter @andritarigan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penguasa Tersembunyi

7 Maret 2012   01:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:25 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menemukan sebuah gambaran menarik dari tulisan Indra J. Piliang di blog berjudul Mencari Pemimpin Muda seputar realita kekuasaan. Gambaran tersebut menyatakan bahwa APBN Indonesia hanya sebesar Rp. 1.400 Trilyun, sementara, GDP Indonesia sebesar Rp. 7.200 Trilyun. Sehingga bisa dikatakan bahwa kelompok pebisnislah yang menggerakkan dana selebihnya yang berjumlah Rp 5.200 Trilyun. Gambaran dana tersebut menunjukkan bahwa kelompok Political Society (Para pejabat, juga orang-orang yang ganjinya ditanggung langsung oleh APBN) tidak lebih berkuasa dari para penggiat bisnis.

Suatu peringatan agar kita jangan terlalu percaya bahwa yang benar-benar mengendalikan kuasa atas negara adalah para pejabat. Ini merupakan kacamata yang baik bagi kita dalam memandang jalannnya kekuasaan. Terutama, bagi kita yang percaya bahwa para pejabat sering korupsi. Adanya korupsi menunjukkan bahwa uang sangat dihargai, dan itu merupakan jalan mulus bagi para pebisnis untuk benar-benar lebih berkuasa dari political society, dimana mereka bisa membuat pemerintah (yang korup) tunduk pada mereka. Penguasa korup tunduk pada suap.

Korupsi

Dengan pertimbangan moral ataupun tidak, suap dan korupsi yang kini mewabah di kalangan pejabat harus kita pahami sebagai sesuatu yang memang sukar dihilangkan. Mengingat pula, kontestasi kekuasaan yang berlangsung di Indonesia tergolong high cost politic. Masyarakatnya sendiri juga korup. Terbukti dari kerelaan mereka memilih calon pejabat atau partai tertentu dalam pemilu karena telah disodorkan uang kantongnya terlebih dahulu.

Pejabat korupsi karena mahalnya biaya kampanye, biaya kampanye tinggi karena rakyat turut korupsi saat pemilihan. Rakyat korupsi karena tak tahan miskin, rakyat terjebak miskin karena uang negara tak jelas arahannya. Arahan uang negara tak jelas, ya karena pejabat banyak yang korupsi. Seperti itu contoh rentetan lingkar setan tak berujung dari praktik korupsi, cuplikan high cost politic negeri kita.

Praktek bisnis jadi praktek politik. Mencari keuntungan (uang) yang sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Jadilah, korupsi, kolusi, dan nepotisme dipegang sebagai pilihan yang menggiurkan. Bukan kegelisahan atas kesusahan-kesusahan rakyat lagi yang menjadi motivasi utama, tapi keuntungan pribadi atau kelompok. Suap dianggap biasa. Selebihnya, agar sedikit elok, kepercayaan rakyat diserahkan pada tindakan-tindakan rias cover alias pencitraan.

Wabah Kapital

Indonesia selayaknya bertumpu pada kemajuan budaya. Namun, zaman telah menuntut untuk mengesampingkan kelayakan tersebut dan harus menggeluti dinamika ekonomi global. Masuknya jejaring kapitalisme asing yang menguasai segenap aset penting dan besar dalam negeri kini menjadi hal yang tak terelakkan, dalam artian sudah terjadi.

Tak pelak, budaya banyak tergerus. Perekonomian kerakyatan banyak yang mati suri. Kemajuan perekonomian Indonesia karena kebijakan-kebijakan yang ada ternyata hanyalah kemajuan pemodal asing. Bukan kemajuan ekonomi rakyat karena memang pihak pemodal asing yang banyak menguasai korporasi-korporasi besar dan penting yang berdiri di Indonesia. Perekonomian kita bernafas dari genggaman mereka.

Mereka 'cinta' Indonesia. Melihat, Indonesia kaya sumber daya alamnya. Indonesia adalah supplier yang menjamin kelancaran perolehan bahan mentah atas industri-industri skala internasional. Selain supplier, Indonesia negara yang banyak pula rakyat konsumtifnya. Rakyat Indonesia suka beli barang demi gengsi, suka beli barang karena barang tersebut produk baru sekalipun belum tentu bermanfaat, dan ada berbagai alasan lainnya yang membuat rakyat Indonesia dinilai sebagai sasaran yang empuk. Indonesia adalah supplier bahan mentah dan pasar yang empuk bagi para pemodal asing.

Tak bisa dipungkiri memang banyak lapangan kerja yang tercipta dari hadirnya modal asing tersebut. Banyak pula kemajuan pembangunan fisik yang bisa dicapai. Tapi, tetap harus disadari bahwa rakyat Indonesia layak mandiri. Dan pembangunan fisik belum tentu menjawab kebutuhan akan kesejahteraan rakyat kebanyakan.

Jika di awal dikatakan bahwa para penguasa di negeri ini (yang kita percaya bahwa mereka banyak yang korup) kuasanya tunduk pada suap pebisnis. Dan ternyata, dari para pebisnis yang paling berkuasa adalah pemodal asing. Bukankah itu berarti kuasa negara secara tersembunyi ada di genggaman pemodal asing?

Fokus pada Rakyat

Sekalipun analisis sederhana di atas sedikit karikatif, realita bahwa pemodal asing secara tersembunyi berkuasa atas negeri ini memang sering terlihat dan telah membangkitkan keresahan. Bahkan, tak jarang rezim yang berkuasa sekarang dituduh sebagai antek neolib karena terlihatnya realita tersebut. Tapi terlepas dari itu, rakyat tetap butuh perekonomiannya diperbaiki. Rakyat ingin sejahtera.

Kesejahteraan tersebut mungkin saja kita capai sekalipun SDM kita sering diremehkan. Sudah banyak kaum intelektual Indonesia yang mendulang prestasi, sudah banyak yang memahami perwujudan negara industri.

Dengan keberadaan alam yang kaya, maka tak pelak kesejahteraan rakyat seharusnya bisa digapai dimana kita bertumbuh sebagai sebuah negara industri yang mandiri. Tentu pencapaian yang saya maksud itu terjadi ketika bukan pemodal asing lagi yang menjadi penguasa korporasi besar dan penting di Indonesia. Ketika, pemodal asing bukanlah penguasa tersembunyi negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun