Mohon tunggu...
Axel Jhon Calfari
Axel Jhon Calfari Mohon Tunggu... Penerjemah - Ilmu Politik 2019, Universitas Brawijaya.

Kekirian, pembelajar, dan semoga tidak cepat pintar. Selamat/suksma/Sukses.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Analisis Nasib Imigran dan Manuver Politik Donald Trump dalam Penanganan Virus Corona

8 Mei 2020   19:49 Diperbarui: 8 Mei 2020   20:06 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Axel Jhon Calfari

Keputusan Trump ditengah Pandemi Virus Corona banyak menjadi sorotan antara rakyat yang mendukung maupun yang menentang Presiden Donald Trump. Acap kali presiden dinilai tidak kompeten dalam menangani virus corona di negaranya. 

Berdasarkan data CDC, sejauh ini angka kematian di AS sudah menyentuh 65.735 kasus per tanggal 3 Mei 2020.[1] Menjadikan Amerika Serikat menjadi episentrum penyebaran virus corona di dunia, dan menjadikannya negara tertinggi  pada kasus positif dan kematian akibat pandemi ini. Sejauh ini telah banyak langkah yang dilakukan Trump dalam menangani virus corona diantaranya dengan kebijakan penundaan imigrasi di Amerika Serikat. 

Membengkaknya kasus Virus Corona di Amerika Serikat disebabkan karena Trump selalu tidak mempermasalahkan dan menyepelekan ketika Corona masih pada angka yang kecil. Bahkan ketika sudah diperingatkan oleh Pemerintah Kesehatan Amerika Serikat untuk menutup akses dari Eropa ke Amerika Serikat pada akhir Januari. Tetapi Steve Minuchin dan Donald Trump berkata lain, mereka tidak ingin mengancam perekonomian di negaranya. Sehingga terjadinya massive outbreak yang berpusat pada daerah New York.

Hingga pada senin malam 20 April 2020 waktu Amerika Serikat, Presiden Donald Trump berjanji melalui twitter untuk menandatangani Perintah Eksekutif untuk sementara menangguhkan imigrasi ke Amerika Serikat, hingga pada keesokan harinya Trump menandatangani kebijakan ini.

Presiden Donald J. Trump menandatangani perintah eksekutif mengenai kebijakan yang akan menunda persetujuan kartu izin tinggal permanen di Amerika Serikat atau yang dikenal sebagai green card. Kebijakan ini dilakukan secara parsial yang akan dilakukan selama 60 hari yang kemudian bisa diperpanjang hingga jangka waktu yang tidak ditentukan. 

Keputusan ini diambil oleh Trump sebagai perlindungan ekonomi AS yang terancam depresi berat, bahkan untuk diprediksikan 6 bulan kedepan AS akan defisit sebesar 20% dari GDP yang menyerupai pada situasi Perang Dunia II dikarenakan terdampak Covid-19. 

Trump menjelaskan bahwa fungsi dari kebijakan ini adalah untuk mengutamakan rakyat AS agar tidak berkompetisi dengan para imigran untuk ketersediaan lapangan pekerjaan dan menekan penyebaran virus.[2] 

Kebijakan ini tentunya akan berdampak pada banyak orang tercatat pada 2019 pengajuan green card mencapai 577.000 dan ada 460.000 visa imigran yang kebanyakan berniat untuk kuliah, bekerja dan bisnis. Kebijakan ini dinilai akan menghilangkan praktik pemegang green card yang membiayai keluarga besar mereka untuk bertempat tinggal  secara permanen di AS, yang oleh presiden disebut dengan migrasi berantai.

Kebijakan penundaan green card  ini dikecualikan untuk rakyat Amerika yang sudah menikah dan anak yang belum menikah dibawah umur 21 tahun, serta untuk anggota tentara Amerika Serikat termasuk istri dan anaknya, dan tentu saja investor kaya. 

Pemerintahan Trump juga akan mengecualikan petani migran dan tenaga medis. Karena 1/10 dari petani migran memiliki kontribusi yang besar terhadap sektor agrikultur di AS. Dan sistem medis di AS masih sangat bergantung pada imigran. Menurut data, sebesar 17% tenaga medis dan lebih dari 25% dokter bukan berasal dari negeri Amerika Serikat.[3]

Kebijakan dadakan ini tentunya sangat membingungkan dan menimbulkan kecemasan diantara masyarakat Amerika Serikat. Tentunya, dampak ini sangat merugikan bagi imigran yang masih di luar AS. 

Hal ini merupakan kebijakan yang diskriminatif ketika pihak pemerintah menyatakan bahwa hal ini untuk menegakkan keadilan warga Amerika Serikat agar mereka didahulukan untuk mendapatkan kesempatan lapangan pekerjaan, akan tetapi di sisi lain Amerika Serikat merupakan negara yang sejauh ini perekonomiannya bergantung pada imigran dan dikhawatirkan penundaan ini akan diperpanjang tanpa batas waktu dan akan membuat calon imigran dan keluarga mereka menderita. Mark Krikorian, Direktur Eksekutif Center Studi Imigrasi melihat ini lebih seperti isyarat politik daripada langkah kebijakan yang serius. [4]

Permasalahan Implementasi Kebijakan Penundaan Imigrasi 

Pemerintahan Trump juga telah mengimplementasikan sistem ini untuk "mengusir" para migran dan imigran yang datang dari Meksiko, Guatemala, El Savador, dan Honduras dari perbatasan selatan Amerika Serikat selama pandemi. Mereka tidak diproses di dalam Pos Penjaga Perbatasan, tapi langsung diproses di lapangan, tanpa pemeriksaan kesehatan yang lengkap, mereka langsung dikembalikan ke Meksiko, berdasarkan laporan dari Texas Tribune.

Menurut Professor Hukum A&M Texas, Fatma Marouf yang menyatakan bahwa kebijakan ini kemungkinan dapat diperpanjang dan pada akhirnya bisa berdampak pada imigran yang telah tinggal dalam perbatasan AS.[5] 

Maka tidak akan menjadi suatu hal yang baru apabila Trump memutuskan untuk memberlakukan ini secara jangka panjang, mengingat catatan Trump atas narasi-narasinya yang sangat keras pada imigran terutama dari negara yang mayoritas Muslim, dan dari Meksiko yang sekarang sedang dibangun tembok panjang untuk realisasi janji kampanyenya. 

Pembangunan tembok tersebut dilakukan dengan alasan untuk memelihara keamanan nasional telah menjadi cara Trump untuk memenangkan hati para konservatif garis kerasnya di AS pada kontestasi Pemilihan Presiden Amerika Serikat sebelumnya. 

Akan tetapi, keputusan ini tentunya ditentang oleh komunitas bisnis yang menginginkan Trump untuk mengurangi pembatasan pada visa pekerja sementara. Sebaliknya, jika Trump memilih untuk mengecualikan kebijakan penundaan imigrasi, dia akan memperkuat posisinya dengan komunitas bisnis tetapi berisiko menciptakan protes dari pendukungnya yang konservatif. 

Anthony Zurcher berpendapat bahwa langkah yang diambil Trump tentunya akan ditentang keras oleh kelompok pro-imigrasi, pebisnis, dan musuh ideologis presiden. Kembali ke empat tahun yang lalu Trump juga menggalakkan kampanye mengenai anti-imigrasi dan pelarangan umat Muslim untuk masuk ke Amerika Serikat, dan terlihat bahwa Trump menggunakan kembali strategi yang sama untuk memenangkan Pemilihan Presiden 2020.[6] Para kelompok partai Republik pun memuji langkah ini, yang tentunya dengan jelas ditentang oleh  kelompok Partai Demokrat yang melihat bahwa langkah Trump merupakan "kesempatan dibalik kesempitan" di tengah pandemi. 

Trump dalam menetapkan kebijakan penundaan imigrasi ini sangat bertolak-belakang dengan alasan agar ekonomi membaik. Pasalnya, mengutip dari pernyataan Ruchir Sharma, "dalam dekade terakhir, pertumbuhan populasi, termasuk imigrasi, telah menyumbang sekitar setengah dari tingkat pertumbuhan ekonomi potensial di Amerika Serikat dan hampir tidak ada negara yang mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara cepat tanpa pertumbuhan populasi yang kuat, dimana Amerika Serikat terus menghadapi penurunan pertumbuhan populasi, dan pekerja merupakan sumber kekuatan ekonomi nasional yang berharga."[7] 

Yayasan Nasional untuk Kebijakan Amerika (NFAP) pada Februari 2020 menghitung bahwa adanya pengurangan 30% atau lebih dalam imigrasi legal pada tahun fiskal 2021 dibandingkan perhitungan pada 2016 yang menghitung bahwa dalam jangka panjang akan berada pada 35% dan 59%.[8] Tentunya jika kebijakan penundaan imigrasi ini tetap dilakukan, akan terjadi penurunan signifikan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang di Amerika Serikat. 

Jika kita melihat respon Trump terhadap pandemi, dia sangat terfokus pada masalah imigrasi dan selalu membicarakan tentang Pemilihan Presiden 2020, dia juga membicarakan masalah perkembangan tembok perbatasan ini pada briefing yang dilakukan dengan kepala korps insinyur Angkatan Darat Amerika Serikat yang sedang membicarakan tentang pembangunan rumah sakit, tetapi presiden juga membicarakan mengenai perkembangan pembangunan tembok yang dikerjakan di perbatasan Amerika Serikat dengan Meksiko.[9] Hal tersebut menjadi hal yang penting bagi partai Republikan untuk mewujudkan janji kampanye dan meningkatkan elektabilitas Trump di negara bagian dengan swing voters yang tinggi (swing state).

Manuver Politik Trump dan Kontestasi Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020

Kembali pada kampanye Trump pada 2016, dirinya berjanji untuk mengurangi imigrasi apabila terpilih. Trump juga menyalahkan Obama atas peningkatan jumlah imigran di Amerika. Manuver politik Trump terlihat bahwa ia ingin memperketat aturan imigran ke AS karena mereka dipandang telah mencuri kesempatan kerja sekitar 2 juta warga Amerika. Melalui American First, kepentingan nasional rakyat Amerika akan menjadi priotitas utama.

Padahal melalui penelitian yang dilaksanakan para Profesor ekonomi Universitas California yang telah meneliti selama 30 tahun dalam topik ini. Menyimpulkan bahwasannya sangat sedikit data yang mendukung atas klaim imigran yang akan menekan upah dengan pekerja pribumi AS bahkan sebagian besar negara-negara industri rata-rata tidak berpengaruh pada pekerja pribumi. [10] 

Apabila kita melihat manuver Trump dan juga partainya (republik) dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020, terlihat dengan jelas bahwa republik selalu menentang kebijakan imigrasi di Amerika Serikat. Sedangkan pesaing kuatnya, Joe Bidden dari partai demokrat terlihat selalu mendukung kebijakan imigrasi di Amerika Serikat.

Memang benar bahwa, dibandingkan dengan para pemimpin partai demokrat lainnya, tingkat elektabilitas Trump untuk Pemilihan Presiden 2020 tidak terlalu terpengaruh. Bagaimanapun juga Trump terlihat mendapatkan kesempatan yang lebih dibandingkan oposisinya Partai Demokrat, terutama calon presiden yang diisukan maju dalam konstestasi Amerika Serikat yakni Joe Bidden, yang kesulitan membangun dirinya dalam perdebatan karena dia tidak memegang jabatan politik saat ini.

Ketika kita melihat bagaimana keseriusan Trump dalam menangani Virus Corona pada sektor kesehatan, sebelumnya telah diperingatkan oleh Direktur CDC Robert Redfield, yang menghimbau pemerintahan Donald Trump akan penyebaran gelombang kedua dari Covid-19 yang akan muncul pada musim dingin yang dinilai akan lebih mengerikan karena akan menghadapi Corona dan flu secara bersamaan. Hal tersebut menjadi mengerikan karena sejauh ini telah banyak korban dan rumah sakit kekurangan alat tes, ventilator dan alat keamanan untuk pekerja medis. Dia juga menyayangkan tindakan Trump yang mendukung aksi protes anti-lockdown melalui cuitan twitternya yang menyatakan "BEBASKAN MINNESOTA!" dan "BEBASKAN MICHIGAN!" [11]  

Deborah Birx sebagai Koordinator Gedung Putih Untuk Penanganan Virus Corona tidak mau terlalu cepat menilai keputusan presiden. Dia juga tidak tahu menahu mengenai gelombang kedua Covid-19 akan lebih membahayakan dibandingkan sekarang, Trump juga menilai bahwa semakin hari harapan semakin cerah untuk akhir dari pandemi ini. Dia juga menyatakan bahwa tidak semua orang ingin melakukan testing, dalam beberapa kasus hal tersebut tidak baik, dan Trump juga menyatakan bahwa kita mampu untuk menghadapi gelombang kedua jika terjadi, karena AS telah melakukan hal yang baik sejauh ini. [12]

Hingga saat ini Amerika Serikat telah menjadi negara dengan tingkat kasus Corona tertinggi di dunia. Hal ini dikarenakan ketidakcakapan presiden dalam menangani kasus ini. Menurut Idrees Kahloon pakar ekonomi Amerika Serikat. 

Donald Trump lebih mementingkan masalah ekonomi dibandingkan kemanusiaan.[13] Dorongan Trump untuk membuka kembali perekonomian dengan cepat juga tidak mendapatkan banyak dukungan. Kebanyakan orang Amerika memiliki pandangan yang berbeda, menurut jajak pendapat baru di The Washington Post. Survei menyatakan bahwa 54% rakyat Amerika Serikat memberikan nilai negatif untuk Trump dalam penanganan Pandemi.[14]

Gaya Politik Trump

Cara Trump dalam menaungi pemerintahan dapat disambungkan dengan tesis dasar yang terdapat dalam Il Principe. Yang dimana dalam dunia politik, segala cara dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Sebuah stabilitas akan tercipta, apabila adanya kekuasaan yang kuat. Serta kekuasaan mampu bertahan, jika penguasa bisa menggunakan segala hal untuk mempertahankannya. Terutama dalam menciptakan rasa takut dan cinta terhadap rakyatnya. 

Penguasa ideal yang digambarkan dalam buku tersebut menggambarkan bahwa penguasa yang ideal adalah yang mampu untuk memadu kedua sifat dasar tersebut. Dalam realita, dua sifat tersebut sulit dipadukan. Sehingga jika harus memilih dari kedua hal tersebut, maka lebih baik menjadi penguasa yang ditakuti daripada dicintai (since love and fear can hardly exist together, if we must choose between them, is safer to be feared than loved).[15]

Politik ketakutan atau politics of fear adalah sebuah strategi politik Donald Trump dalam menghadapi Hillary Clinton dalam Pemilihan Presiden Amerika 2016. Pengamat politik The Atlantic Molly Ball, menilai Trump berupaya meningkatkan ketakutan orang-orang Amerika terhadap terorisme dan kriminalitas.[16]

Pada 2016. Trump menyampaikan pidato tentang imigrasi yang menggambarkan orang luar sebagai ancaman yang menakutkan. "Tak terhitung banyaknya nyawa orang Amerika yang tidak bersalah telah melayang karena para politisi kita telah gagal dalam tugas mereka untuk mengamankan perbatasan kita," katanya. Pidato penerimaannya di Konvensi Nasional Partai Republik juga menjelaskan sejauh mana pesannya berkisar pada rasa takut.[17] 

Pidato Donald Trump yang sering membawa isu-isu sensitif dan selalu menggiring opini yang tidak segan-segan secara eksplisit menyerang lawan bicaranya, mengatakan bahwa Muslim ada teroris merupakan cara agar menakutkan rakyat AS sehingga menimbulkan kecemasan. Ketika masyarakat semakin cemas, maka Trump seakan-akan hadir sebagai solusi dari segala permasalahan tersebut. Strategi ini dipakai Trump untuk menarik hati rakyat Amerika Serikat.

Cara Trump dalam memainkan politik identitas juga kerap dilakukan, dalam beberapa kali pidatonya selalu membawa narasi yang menghina orang-orang Meksiko sebagai pemerkosa, pengedar narkoba, penjahat, dan sebagainya. Melalui cara ini Trump mendapatkan pengikut konservatif setianya yang militan dengan Trump. Hingga Presiden Trump mampu untuk memenangkan Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 walaupun masih menimbulkan pro-kontra hingga sekarang.

Akhir kata semoga Virus Corona menjadi refleksi utama para penguasa di dunia atas cara-cara politik mereka yang mementingkan elektoral ditengah-tengah pandemi dibandingkan kemanusiaan. Blunder Trump sebagai pemimpin yang dengan tegas mendukung aksi anti-lockdown, mulai melonggarkan untuk work from home tanpa mempertimbangkan ahli kesehatan, serta narasi-narasi diskriminatif dan mengutamakan kepentingan ekonomi diatas kemanusiaan.

[Untuk daftar pustaka hubungi penulis, tidak disematkan demi kenyamanan membaca]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun