Oleh: Axel Jhon Calfari
Sudah sejak lama media dikenal dan telah menjadi bagian dari masyarakat di seluruh dunia. Layaknya kehidupan, dalam perkembangannya tak lepas juga dari polemik-polemik dan hal-hal yang telah menjadi bagian dari media itu sendiri. Yakni, istilah gatekeeper atau gatewatcher.
Sebenarnya istilah dari gatekeeper itu sendiri telah dikenal sejak 1922, namun pada saat itu belum ditetapkan sebagai teori ataupun istilah. Hingga pada akhirnya konsep ini dikenalkan oleh Kurt Lewin pada 1947 dianalogikan seperti seorang ibu rumah tangga yang merupakan “gatekeeper” atau penjaga bagi keluarga dalam mengenalkan dan memilih makanan-makanan yang akan dihidangkan. Sehingga terjadi proses filtering sehingga pada 1950 mulai diakui sebagai ilmu.
Dalam praktiknya seorang gatekeeper akan berperan sebagai “penjaga gawang” pihak yang akan menengahi komunikator (pengirim pesan) dengan publik. Komunikator akan memberikan pesan kepada gatekeeper, dan gatekeeper akan memberikan feedback kepada pengirim pesan. Dan dimana nanti pembaca dapat memberikan feedback kepada komunikator dan gatekeeper (Ardianto, Komala & Karlinah, 2007, p. 38-39).
Dalam komunikasi massa, salah satu komponennya adalah gatekeeping dengan fungsi terciptanya sebuah social control. Hal ini dikarenakan peran gatekeeper dalam menentukan dan pengemasan pada sebuah berita. Mereka berperan dalam menentukan penyajian tayangan atau peristiwa yang akan ditampilkan di media, tentunya secara tidak langsung dapat memengaruhi perilaku dan opini di masyarakat. Gatekeeper juga berfungsi sebagai seseorang yang menambah atau mengurangi, menyederhanakan, dan mengolah informasi agar dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Shoemaker dan Reese berpendapat bahwa isi media yang disampaikan kepada khalayak tidaklah berasal dari “ruang hampa” yang netral, bebas kepentingan, dan kemudian disalurkan melalui medium yang bebas distorsi. Akan tetapi, isi dari sebuah media merupakan hasil dari pengaruh kebijakan internal dan eksternal sebuah media (Krisdinanto, 2014, p. 8)
Pengaruh isi media terbagi menjadi lima level, yakni:
- Level Individu, yang dimana menurut Shoemaker dalam berita tidak akan terlepas dari faktor individu pencari berita atau jurnalis.
- Level Rutinitas Media, yaitu bagaimana media dalam mengemas sebuah berita. Media rutin terbentuk dari tiga unsur, yakni sumber berita, organisasi media (redaksi media dalam mempublikasikan berita), dan audience (konsumen)
- Level Organisasi, pada level ini dianggap memiliki pengaruh yang besar dibanding level 1 dan 2 karena kebijakan terbesar tetap dipegang oleh pemilik media.
- Level Ekstra Media, yang dimana pihak-pihak diluar media juga memengaruhi.
- Level Ideologi, yang sangat berbeda dari keempat lainnya karena abstrak yang dapat memengaruhi isi media melalui ide-ide. (Shoemaker dan Reese, 1996, p. 105-253)
Disini terlihat jelas bahwa gatekeeper akan mengolah dan menyeleksi berita yang akan dihadirkan oleh komunikator sebelum di publikasikan ke publik. Sehingga menyebabkan berita yang akan dihadirkan oleh media telah terpengaruh oleh hasil penyeleksian oleh gatekeeper sehingga rentan akan potensi kepentingan maupun pemilihan diksi dalam publikasi berita.
Banyak media masa kini yang kita kenal seperti Tirto.id, Kumparan, dan The Jakarta Post yang dikelola dengan proses gatekeeping. Karena dalam internal mereka terdapat para gatekeeper seperti pemimpin umum, pemimpin redaksi, pemimpin perusahaan, dewan redaksi, reporter, pagemaker, setter dan sebagainya. Dalam realitanya media massa Indonesia sebagian besar menerapkan sistem gatekeeper. Jika kita menelusuri latar belakang media massa di Indonesia, pemmilik atau pembiayaannya tidak terlepas dari sekelompok pengusaha yang turut berpolitik. Sebut saja media detik.com yang menjadi bagian dari CT. Corp milik Chairul Tandjung, Sindo dan MNC News milik Hary Tanoesoedibjo, Republika dari perusahaan Mahaka milik Erick Thohir. Sehingga kehadiran gatekeeper dalam pemberitaan di media ini akan terpengaruh oleh orientasi penyokongnya.
Gatewatcher Sebagai Media Alternatif
Namun, pada saat ini proses gatekeeping tidak menjadi pilihan satu-satunya sejak adanya internet. Saat ini kehadiran gatewatcher muncul sebagai alternatif. Citizen journalism menjadi tren baru yang muncul dalam perkembangan di masyarakat dimana mereka biasanya mempublikasikan jurnalistik nya melalui media sosial (mis. twitter) yang informasinya dikumpulkan dari berbagai sumber di media sosial dan memutuskan kebenaran dari diri mereka sendiri berdasarkan pendapat mereka.
Pada era internet yang mempermudah semua elemen masyarakat dalam mempublikasikan berita Citizen Journalism yaitu warga berperan dalam jurnalistik. Yang berperan sebagai independen karena seluruh isi berita sesuai dengan apa yang pembuat berita harapkan. Para citizen journalist biasanya mempublikasikan berita mereka melalui berbagai cara.
Pertama, partisipasi pemirsa. Mereka dapat berkontribusi melalui komentar dalam berita online, blog pribadi, melalui foto ataupun video. Dalam hal ini media besar sudah menghadirkan platform untuk hal tersebut, seperti acara Net. Citizen journalist yang menghiasi pertelivisian di tanah air dimana warga dapat meliput kejadian secara real time dan media mainstream sebagai wadah dalam mempublikasikan berita tersebut.
Kedua, berita dan informasi situs-situs independen yang dimana media yang dianggap independen dan tidak memihak siapapun. Di Indonesia belum banyak ditemukan media-media independen akan tetapi masih dapat ditemukan seperti Remotivi yang menerima penghargaan Tasfrif Award 2014 dari Aliansi Jurnalis Independen pada agustus 2014 lalu.
Dalam perkembangan media tanah air, media gatekeeper dan media gatewatcher sudah mulai gencar dan saling menghiasi media tanah air. Media gatekeeper juga dikenal sebagai Traditional Journalism dan sudah banyak yang menaruh minat terhadap gatewatching karena hal tersebut dinilai lebih modern.
Bahkan tidak sedikit media-media gatekeeper di tanah air melansir berita berita dari gatewatcher seperti menampilkan komentar-komentar publik di media sosial, media massa Opini.id yang gemar mengabarkan konten-konten viral dari akun-akun media sosial sebagai bentuk kolaborasi dengan citizen journalist .Hal tersebut membuktikan bahwa gatewatcher telah memiliki pengaruh terhadap media massa saat ini.
Walaupun begitu, proses gatekeeping dan peran gatekeeper masih tetap diperlukan mengingat masih banyak perusahaan media yang tetap membutuhkan gatekeeper untuk mengolah informasi yang nantinya akan dipublikasikan. Karena telah ada kebijakan yang mengatur hal tersebut dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan banyaknya ketersediaan media terkait dengan pemberitaan setidaknya masyarakat mampu untuk menelaah kebenaran dari sebuah berita yang terpublikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H