Serangan bom ke Gereja Oikumene Samarinda, Kalimantan Timur yang menewaskan gadis kecil, Intan, mengundang simpati banyak pihak. Bukan hanya umat Gereja, umat Islam yang tidak suka kekerasan pun mengutuk serangan tersebut. Mereka, para umat Islam yang berada di sekitar Gereja bersama-sama dengan umat Gereja merapihkan dan membersihkan bangunan Gereja yang rusak. Kapolres Samarinda, Kombes Setyobudi Dwiputro menggambarkan bahwa suasana tersebut begitu sejuk.
Beberapa pria yang mengenakan kopiah putih, sebuah identitas yang selama ini disalahgunakan beberapa oknum dalam perbuatan tindakan in-toleran mereka, merasa terpanggil untuk membantu membersihkan Gereja. Bagi mereka apa yang mereka lakukan adalah bentuk dari toleransi dan saling menghargai antar umat beragama.
SARA lahir dari pola pikir manusia yang merasa paling hebat, pintar, cerdas, tampan, suci, benar dan lainnya. Kemudian dari pikiran tersebut muncul sifat merendahkan, menghina, melecehkan hingga membenci orang lain.
Kita mungkin tidak sadar jika SARA sudah biasa terjadi di lingkungan keluarga. Bagaimana seorang kakak membully adiknya ketika sang adik tidak lebih pintar daripadanya. Bahkan terkadang orang tua pun menjadi pemicu timbulnya SARA.Ketika orang tua membangga-banggakan salah satu anaknya dan menjatuhkan anak yang lainnya. Mereka tidak adar bahwa sebenarnya mereka sedang mengajarkan kepada anak-anak mereka perbuatan SARA.
Disini lah sebenarnya peran agama masuk. Agam dibuat Tuhan untuk membersihkan dan menghapus sifat seperti itu, namun apa jadinya jika Agama pun ternyata dijadikan isu SARA. Tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan untuk membunuh orang yang tidak berdosa. Semua agama mengajarkan cinta damai. Namun ketika para pemeluknya melakukan tindak kekerasan dengan berlindung dibalik topeng agama, maka inilah yang menjadi masalah.
Kita perlu mengutuk tindakan pengeboman yang dilakukan seseorang yang mengatasnamakan agama di Gereja Oikumene Samarinda, sebagaimana kita juga mengutuk pembantaian terhadap kaum Muslim Rohingyah yang dilakukan Umat Budha di Miyanmar.
Begitupun yang terjadi dengan umat Islam Ahmadiyah. Pakistan memperbolehkan rakyatnya untuk menganiaya umat Islam Ahmadiyah, karena dianggap sesat. Pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan terhadap umat Islam Ahmadiyah di Pakistan marak dilakukan, dan negara yang mayoritas Islam melegalkan tindakan tersebut.
Penyerangan yang dilakukan ribuan umat Islam Banten terhadap umat Islam Ahmadiyah di Cikeusik menewaskan empat orang dan melukai puluhan orang Ahmadiyah. Bahkan rumah dan masjid mereka diratakan dengan tanah. Apa yang salah? Apakah Islam mengajarkan seperti itu? Jelas jawabannya tidak.
Kasus pengeboman di Gereja Oikumene, juga pembantaian Muslim Rohingyah, serta penyerangan terhadap komunitas muslim Ahmadiyah, adalah perbuatan orang yang tidak beragama. Agama dilahirkan untuk saling mencintai dan menjunjung tinggi kehormatan manusia.
Kini bagaimana caranya agar kebencian terhadap agama, suku, golongan dan lainnya itu hilang? Inilah yang menjadi peer bersama. Patut bagi kita semua untuk saling mengasihi, menyayangi, menghormati dan menghargai perbedaan diantara kita. Kebencian hanya akan melahirkan kebencian, dan bahkan akan lebih. Mengapa kita harus memelihara kebencian jika hanya akan membawa permusuhan? Bukan sebuah tindakan beradab ketika perbedaan diselesaikan dengan kekerasan.
Perlu rasanya menggaungkan slogan umat Islam Ahmadiyah yaitu Love For All Harted For None yang memiliki makna yang luas “Cinta untuk semua manusia dan tidak ada kebencian bagi siapapun, meski itu musuh sekalipun.” Mengedepankan kecintaan daripada kebencian akan membawa seseorang kepada kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H