Belum ada yang “mengejutkan” dari penampilan paslon gubernur dan wakil gubernur yang mengikuti agenda debat Pilkada DKI 2017 malam ini. Semua masih sesuai dengan apa yang diprediksi banyak kalangan. Agus-Sylvi ingin menampilkan citra tegas dan berwibawa, Ahok-Djarot yang profesional dan pekerja, serta Anies-Sandi yang santun dan humanis.
Setidaknya itu yang terekam dari sessi I debat (sebelum jeda iklan). Citra atau pencitraan masing-masing paslon sesungguhnya sudah diketahui semenjak mereka melakukan kampanye. Yang ingin diketahui lebih banyak oleh masyarakat adalah bagaimana dengan konsep program yang ditawarkan. Apa yang menjadi pembedanya?
Memasuki sessi II, moderator Ira Kusno memberikan kesempatan kepada paslon nomor 2 untuk menanggapi dan mengkritik program dari paslon nomor 1 dan 3. Djarot mempertanyakan teknis pengelolaan 1 milyar 1 RW, agar justru RW tidak kerepotan dan bahkan mungkin bisa terjerumus korupsi. Sementara kepada paslon nomor 3, Djarot mempertanyakan bagaimana menciptakan 10% lapangan kerja dan darimana anggarannya (dari pos mana)?
Ini memang persoalan yang kerap muncul dalam setiap debat, yakni soal waktu yang terbatas. Sebagai gambaran, orang berbicara 2 menit itu mirip dengan membaca teks sekitar 400 karakter kata (jika mampu berbicara cepat ya sekitar 500 kata), atau sebuah opini yang sangat pendek, apalagi hanya 1-1,5 menit. Pada akhirnya penanggap tidak menjawab secara teknis melainkan diplomatis, bahan jika tidak menanggapi pun tidak masalah.
Hal yang agak menarik dan agak mengerucut itu soal issue “penggusuran”. Masing-masing paslon diminta dengan tegas untuk menyatakan apakah akan menggunakan kebijakan “penggusuran” atau tidak? Paslon 1 dan 3 seperti mendapat amunisi yang siap “ditembakkan” kepada paslon petahana, guna mendapat simpati masyarakat pemilih. Tentu kedua paslon tersebut menjawab tidak akan menggusur.
Namun justru ini yang diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh paslon Ahok-Djarot, “Agar kami bisa menjelaskan kepada masyarakat,” ujar Djarot. Menurut Ahok, banyak yang mengakatakan bahwa pemerintah DKI itu (Ahok-Djarot) memusuhi orang miskin, “Justru kami ingin menolong orang miskin agar bisa hidup lebih manusiawi di rumah susun. Tidak lagi hidup di bantaran kali ataupun kolong jembatan. Selain itu juga bisa melakukan normalisasi sungai agar tidak banjir. Jadi sebenarnya tidak ada penggusuran,” tambah Ahok.
Memasuki sessi-sessi berikutnya mempersilahkan masing-masing paslon saling bertanya dan menanggapi. Dari setiap kesempatan memang kemudian dapat disimpulkan bahwa Ahok-Djarot menguasai data dan operasional, sementara Anies-Sandi menguasai kata-kata (mirip-mirip motivator), sedangkan Agus-Sylvi yang agak kurang jelas sebenarnya. Tidak terlihat kekuatannya ada di mana, karena hampir semua yang disampaikan seperti teks book atau hafalan.
Beberapa kejadian memang sempat terekam meski tidak terlalu penting-penting amat, seperti saat Djarot menjelaskan bahwa harga trans jakarta 3500 rupiah, namun Anies mempromosikan bahwa jika terpilih akan menetapkan harga trans jakarta 5000 rupiah. Namun mengapa saat Anies mengatakan demikian, Sandiaga di belakangnya memberi tanda jari 3 dan angka nol, nol, nol? Adakah ia mau koreksi yang dimaksud Anies itu 3000 rupiah dan bukannya 5000 rupiah?
Perdebatan paling sengit tentu antara Ahok dengan Anies, dua sahabat yang sudah saling kenal, sehingga tidak ragu saling sindir. Diawali Anies mengatakan bahwa kata-kata itu penting, jangan merendahkan kata-kata. Ia pun mengutip nasehat Bung Karno yang mengatakan, “Banyak bekerja dan banyak bicara”, bukan hanya kerja, kerja dan kerja, kata Anies lagi. Untuk itu Anies masih menyindir agar jangan hanya membangun benda mati, tapi juga penting membangun manusia.
Komentar ini ditanggapi oleh Ahok yang mengatakan, bagaimana mungkin membangun manusianya jika fasilitas tidak ada? Untuk itu bagi Ahok menyiapkan benda-benda mati itu juga penting. Ahok lebih jauh mengatakan, jika mendengar apa yang disampaikan Anies itu mirip teori saja, “Ya, maklum pak dosen”. Hampir mirip sindiran Ahok kepada mpok Sylvi, karena mau menjadi wagub maka pandangannya jadi berbeda sekarang, “Ya sudahlah tidak apa-apa,” ujar Ahok.
Sementara Anies sempat “menohok” baik Sylvi maupun Ahok dengan mengatakan, “Bagus tapi tidak nyambung”, sepertinya kalimat itu betul-betul dikuasai Anies sepanjang debat untuk “menjatuhkan” lawan-lawannya. Sebaliknya Sylvi sempat pula menyindir Anies dengan menyebutnya “Pak Menteri”. Tentu saja hal ini mengingatkan bahwa Anies sempat menjabat sebagai menteri pendidikan namun direshuflle di pertengahan jalan.
Sepanjangan debat, penampilan masing-masing paslon terlihat berbeda. Dari keenam peserta, hanya Ahok dan Djarot yang pernah mengikuti debat pilkada, sementara Anies hanya sempat mengikuti debat dalam konvensi capres di internal partai Demokrat. Agus tampak sekali harus menampilkan sosok yang sempurna (tegap, tegas dan rapi), namun justru terlihat menjadi tidak tenang. Demikian dengan mpok Sylvi yang sepertinya tenggelam di bayang-bayang cagubnya.
Hampir mirip dengan Sandiaga yang juga tenggelam dibalik bayang-bayang Anies, terlihat kaku, dan berkali-kali justru banyak menjaga sikap para supporternya dengan menggeleng-gelengkan kepala. Sebaliknya Ahok-Djarot terlihat lebih santai, tapi menurut saya karena mereka menganggap bahwa mereka tinggal menjawab atau menanggapi saja semua pertanyaan dengan apa yang sudah ada di lapangan.
Yang jauh lebih penting, lantas apa kira-kira yang dapat ditarik oleh masyarakat setelah mengikuti debat paslon pilkada DKI 2017 ini? Sebagian sudah mulai menetapkan diri siapa yang akan dipilih pada tanggal 15 Februari nanti, dan sebagian lain masih menunggu debat kedua dan ketiga. Atau mungkin saja banyak masyarakat yang justru memindah chanel televisinya dan lebih suka menonton seri sinetron? Artinya, mereka tidak terlalu peduli apa yang diperdebatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H