Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Biarkan Anak "Sembunyi"

6 Januari 2017   21:05 Diperbarui: 15 Januari 2017   22:20 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sela kunjungan ke beberapa sekolah, saya paling senang mencari anak-anak yang tengah ngobrol berkelompok. Biasanya di lokasi yang berbeda, entah itu di belakang sekolah, di tempat parkir, di kantin, di dalam kelas ataupun di halaman sekolah.

Lokasi-lokasi ini sering disebut sebagai Spot Area, di mana anak-anak biasanya senang berkumpul menghabiskan masa istirahatnya. Saya ingin mengetahui bagaimana "karakter" anak-anak berdasarkan spot area-nya tersebut.

Di sebuah lokasi parkiran, di belakang sekolah, terlihat bergerombol anak laki-laki, mungkin kebanyakan siswa kelas 5-6 dan sebagian kecil kelas di bawahnya yang ikutan. Awalnya, mereka seperti tidak acuh saat saya mulai mendekati.

"Hallo, boleh aku ikutan ngobrol dan duduk di sini?" Sapa saya sembari memberi senyuman. "Boleh...," jawab sebagian mereka. Setelah saya hitung, ada 11 anak.

"Sedang bahas apa ini?" Tanyaku.

"Game online," jawab seorang anak.

"Wah, asyik tuh... Game apa yang paling kalian senangi? Point Blank, GTA, COC, Pokemon Go, F1, FIFA Soccer atau apa?" Pancing saya lagi yang sedikit memiliki pengetahuan beberapa game anak (tentu bersumber dari referensi anak sendiri, hehehe).

"Aku seneng GTA...," kata seorang, "Nek aku milih PB dong...," jawab yang lainnya. (perlu diketahui dua jenis game ini tergolong penuh kekerasan, yang satu soal strategi perang dan satunya penjahat kriminal yang melarikan diri).

"Lha kenapa kok seneng pilih itu?" Tanyaku penasaran, "Apik je... koyo tenanan (bagus, seperti beneran)," ucap mereka enteng. Waduh..., anak-anak sudah membayangkan membawa senjata berpeluru dan senjata tajam beneran?


"Hmmm memang asyik ya. Tapi di sana banyak kekerasannya lho. Kalian kan tidak ingin melakukan hal yang sama pada dunia nyata kan?" jelas saya.

"Yo ora, kuwi lak mung game... (ya enggak, itu kan cuma game)," kata mereka.

"Ya wis, kalau memang mau membawa senjata, mungkin kalau sudah besar cocoknya kalian menjadi tentara ya, mau?" mereka hanya mesam-mesem.

"Baiklah, sekarang begini. Ketika kalian sedang asyik main game nih, tiba-tiba diusilin atau disakiti teman lain, misalnya didorong, dilempar sesuatu, diomelin, dan lain-lain. Pasti merasa gak nyaman kan? Apa yang akan kalian lakukan?” Saya meminta pendapat mereka.

Ini beberapa jawaban mereka:

“Paling tak oyak trus tak onek-onek’e... (dikata-katain).”

“Nek aku tak bales tak polo... (pukul).”

“Tak pisuhi... (maki-maki).”

“Tak kandake bapak ku... (bilangin ke bapak).”

“Yo nesu lah pokokmen... (pokoknya marah).”

Setelah memberi beberapa “wejangan” melalui sebuah cerita, saya beralih ke lokasi lain. Tiba di sebuah kelas, ada beberapa siswa puteri dan sedikit siswa putera. Mereka tengah asyik ngobrol saat saya dekati...

“Wah, asyiknya... ngobrolin apa?” Tanyaku sama seperti tadi. Singkatnya, saya juga menanyakan hal yang sama, bagaimana sikap mereka bila diganggu atau disakiti teman lain? Dan inilah mayoritas jawaban mereka:

“Pastine terganggu dan sakit hati. Yo marah tur sedih... Ning, paling-paling mung lapor bu Guru (pasti terganggu, marah dan sedih. paling lapor bu guru).”

“Nek aku  tak ampiri tur ngandani nek kuwi ora apik (mendatang dan mengatakan hal itu tidak baik).”

“Nek aku mung meneng wae lah. Ora seneng rame-rame (diam saja, tidak senang konflik).”

Lihat perbedaan jawaban dari dua kelompok yang berbeda lokasi berkumpulnya. Memang tidak bisa disimpulkan secara mutlak bahwa yang berkumpul di lokasi belakang sekolah pastilah anak-anak yang berkarakter buruk semua, seangkan yang di dalam kelas berkarakter baik semua. Namun lingkungan kerap bisa mempengaruhi opini, kepercayaan bahkan keyakinan seseorang.

Observasi kecil ini sesungguhnya ingin mengetahui seberapa jauh anak mampu mengatasi permsalahannya. Anak yang sering bersembunyi dari pandangan (entah di rumah maupun di sekolah) cenderung memiliki emosi yang terpendam, tidak terbuka dan mau seenaknya sendiri. Tidak ada rumus “komunikasi” ataupun dialog dalam pemecahan masalah mereka. Jika tidak langsung marah ataupun bersikap diam dipendam hingga “meledak” sewaktu-waktu.

Bagaimana menghindari anak dari spot area yang tertutup dan tersembunyi seperti itu? Jika memang kita mengetahuinya, maka ajaklah mereka bermain bersama anak-anak lain di tempat terbuka yang mudah dikontrol guru, seperti di kelas, di perpustakaan atau di halaman sekolah. Atau bisa juga dengan membuat peraturan sekolah untuk menghindari lokasi-lokasi yang tertutup dan tersembunyi.

Anak saya juga sering menyendiri di dalam kamarnya atau di sudut rumah lainnya (apalagi jika sudah memegang hp), tapi biasanya sering saya “ganggu” dengan menggabungkan diri dengannya. Atau mengajak mereka bermain bersama di suatu ruangan. Kecuali jika memang mereka meminta diberikan semacam private times (waktu pribadi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun