“Nek aku tak ampiri tur ngandani nek kuwi ora apik (mendatang dan mengatakan hal itu tidak baik).”
“Nek aku mung meneng wae lah. Ora seneng rame-rame (diam saja, tidak senang konflik).”
Lihat perbedaan jawaban dari dua kelompok yang berbeda lokasi berkumpulnya. Memang tidak bisa disimpulkan secara mutlak bahwa yang berkumpul di lokasi belakang sekolah pastilah anak-anak yang berkarakter buruk semua, seangkan yang di dalam kelas berkarakter baik semua. Namun lingkungan kerap bisa mempengaruhi opini, kepercayaan bahkan keyakinan seseorang.
Observasi kecil ini sesungguhnya ingin mengetahui seberapa jauh anak mampu mengatasi permsalahannya. Anak yang sering bersembunyi dari pandangan (entah di rumah maupun di sekolah) cenderung memiliki emosi yang terpendam, tidak terbuka dan mau seenaknya sendiri. Tidak ada rumus “komunikasi” ataupun dialog dalam pemecahan masalah mereka. Jika tidak langsung marah ataupun bersikap diam dipendam hingga “meledak” sewaktu-waktu.
Bagaimana menghindari anak dari spot area yang tertutup dan tersembunyi seperti itu? Jika memang kita mengetahuinya, maka ajaklah mereka bermain bersama anak-anak lain di tempat terbuka yang mudah dikontrol guru, seperti di kelas, di perpustakaan atau di halaman sekolah. Atau bisa juga dengan membuat peraturan sekolah untuk menghindari lokasi-lokasi yang tertutup dan tersembunyi.
Anak saya juga sering menyendiri di dalam kamarnya atau di sudut rumah lainnya (apalagi jika sudah memegang hp), tapi biasanya sering saya “ganggu” dengan menggabungkan diri dengannya. Atau mengajak mereka bermain bersama di suatu ruangan. Kecuali jika memang mereka meminta diberikan semacam private times (waktu pribadi).