Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Cerdas Memilah Informasi dari Berita Hoax

4 Januari 2017   20:53 Diperbarui: 15 Januari 2017   22:55 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih ingat dengan cerita film James Bond "Tomorrow Never Dies" yang diperankan oleh si ganteng Pierce Brosnan? Raja media Elliot Carver (Jonathan Pryce), Pimpinan Utama Carver Media Group Network (CMGN), memulai rencananya untuk memicu perang antara Inggris melawan China, terkait tidak didapatkannya hak siar eksklusif China kepada CMGN yang nantinya menyebabkan terjadinya pergantian pemerintahan China yang baru dan mendukung rencananya untuk hak siar eksklusif.

Dengan bantuan Gupta (seorang tekno-teroris dari AS), ia mengacaukan sinyal GPS dan membuat kapal perang Inggris HMS Devonshire yang kebetulan bertugas sebagai kapal penjaga keamanan diperintahkan untuk keluar jalur menuju perairan milik China di Laut China Selatan, di mana kapal siluman Carver, dikomandani oleh Mr. Stamper akhirnya menenggelamkan kapal itu dengan cara mengarahkan bor bawah laut tersebut ke arah lambung kapal, tak lama kemudian kapal karam dan mereka mencuri salah satu rudal.

Pihak China yang mendeteksi hilang kontaknya HMS Devonshire mengirimkan sekelompok armada MiG-21 (Chengdu J-7) untuk menyelidiki keberadaannya, namun tak disangka mereka ditembak jatuh oleh anak buah Elliot Carver dan membunuh korban selamat dari HMS Devonshire menggunakan persenjataan China.

Munculnya Headline berita koran CMGN yang berjudul AWAK KAPAL ARMADA LAUT INGGRIS DIBUNUH?, membuat M dan 007 menyimpan rasa curiga terhadap CMGN yang dimiliki oleh Carver, karena peristiwa baru terjadi beberapa jam yang lalu, padahal biasanya BBC World News dan CNN International-lah yang selalu menjadi kantor berita pertama yang "mendapatkan berita seperti itu".

Dahsyat ya? Pernah juga kan mendengar bahwa kerja media itu seperti main-main, tapi hasilnya bisa tidak main-main!! Betapa besar dampak dari sebuah pemberitaan. Jika ia memberitakan yang baik maka hasilnya bisa sangat baik, namun jika berita itu HOAX ataupun sampah, maka hasilnya anakhi. Berulang kali hal ini saya sampaikan, mudah untuk menuliskan sesuatu di media, semudah kita membuat pesan. Tinggal lagi "pesan" apa yang ingin disampaikan?

Tidak perlu terlalu jauh, perhatikan saja bagaimana orang yang suka menggosip berbicara? Penggosip bisa membuat cerita palsu atau memelintir berita dan juga kemungkinan terjadinya distorsi. Tujuannya hanya satu: membuat kekacauan dan kesusahan bagi banyak pendengarnya. Sebenarnya tidak hanya penyampai pesan saja yang patut disesalkan, melainkan juga si penerima pesan. Seberapa cerdas orang bisa memilih dan memilah pesan yang diterimanya, dan apa yang harus dilakukan?

Saya pernah diingatkan seorang kawan, agar jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan dari sebuah informasi (berita) terutama di media online. Ceritanya begini, beberapa waktu yang lalu saya pernah menuliskan soal validitas sumber-sumber media online. Kurang lebih bunyinya sama dengan apa yang diingatkan oleh teman saya tadi. Hingga ketika saya mengunduh sebuah berita “Polisi Muda Dan Cantik Menjadi Kepala Polisi” di sebuah kota yang sangat kental dengan kriminalitas “Kartel”-nya.

Saya mengatakan: “Penjahatnya bisa klipuk-klipuk oleh kecantikan si kepala polisi, semoga bisa menjadi contoh di negara lain...” (substansi, red.). Teman saya memberi komentar bahwa menurut berita itu, si kepala polisi cantik tadi merupakan pilihan terakhir, jadi bukan karena prestasinya. Kemudian saya dianggap terlalu cepat menarik kesimpulan dari sebuah berita.

Bagi saya, hal ini sungguh menarik. Karena apa yang disampaikan kawan saya tadi benar adanya meskipun ia tidak sepenuhnya benar dalam menggunakan metode analisa. Awalnya saya menanggapi berita tersebut tidak terlalu serius (komentar ringan). Poin saya bukan pada soal bagaimana ia mendapatkan posisi kepala polisi (meski itu menjadi penting untuk dianalisa).

Di saat kita membaca sebuah berita, apa yang ada di dalam benak kepala kita? Mungkin yang terlihat sekilas adalah “aroma” berita yang biasanya berasal dari judul besar dan gambar. Bisa berupa kesinisan, kelucuan, keanehan, kesedihan, dan sebagainya. Hal ini benar karena yang dilihat semata judul dan gambar. Bagaimana dengan soal kebenaran dan kedalaman sebuah berita?

Perlu diketahui bahwa seorang peliput berita mencari informasi dari sebuah sumber. Siapakah sumber itu? Dapat saja bermacam-macam, mulai dari sumber utama, sumber pelengkap bahkan bisa pula sumber imajinatif (hanya berdasar rekaan pandangan mata). Dalam kasus berita si Kepala Polisi, disebutkan oleh sumbernya bahwa ia bisa menjadi seorang kepala polisi karena pilihan terakhir.

Hanya sampai di situ, tanpa memberi penjelasan mengapa? Dan yang lebih penting lagi, justru sumber utama, yakni si kepala polisi cantik, tidak pernah coba digali informasinya. Jika pun ia ditanyakan, maka siapa yang bisa menjamin bahwa informasi yang diberikannya tidak bias? Apalagi jika yang memberi informasi adalah sebuah korps atau institusi negara, tentu akan banyak informasi hasil settingan. Ia pasti tidak mengungkap segalanya, karena ada hal-hal yang harus dilindungi pemberitaannya.

Sesungguhnya, diawal peliputan, para kuli tinta sudah dihadapkan dengan soal validitas informasi. Pada saat ia memindahkannya dalam bentuk naskah tulisan, bisa saja terjadi kembali apa yang disebut dengan distorsi. Mungkin berdasarkan keberpihakan peliput, karena membawa kepentingan medianya (tempat di mana ia bekerja), atau hal lainnya. Hasil liputan kemudian biasanya diperiksa oleh redaksi dan tidak menutup kemungkinan terjadi sedikit-banyak perubahan (baik dari sisi penampilan/layout, judulnya bahkan kontensnya/isi).

Pada akhirnya, berita tersaji untuk dibaca oleh masyarakat. Masyarakat sesungguhnya tidak pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Yang mereka ketahui adalah apa yang mereka baca. Mereka tidak pernah mengenal siapa yang menulis atau peliput beritanya, siapa narasubernya, siapa tokoh utama yang ada dalam berita. Intinya, sebuah berita bohong pun (apabila tidak ada yang menggunakan hak jawab), maka masyarakat tidak ada yang tahu dan bahkan tidak mau tahu.

Di sinilah pentingnya untuk berpikir kritis, dalam artian tidak menelan mentah-mentah apa-apa yang diinformasikan. Seorang peliput berita yang profesional tidak akan pernah puas dengan hanya mendapat satu infomasi saja. Bahkan jika perlu bagaimana caranya mendapat info sumber utama dengan nyawa taruhannya.

Tapi jika ingin berfilosofi aman, maka sumber dapat diperoleh dari mana saja yang tidak terlalu menyusahkan. Bila ini yang terjadi, tanggungjawab moral seorang kuli tinta patut dipertanyakan, karena ia akan menyampaikan sebuah berita kepada masyarakat. Adanya manipulasi data oleh narasumber dan kemudian ditambah distorsi seorang peliput berita, alhasil masyarakat hanya mengkonsumsi berita penuh kebohongan. Bagaimana kawan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun