"Menyenangkan hati orang lain itu ibadah lho."
"Ya sih, tapi kan ini berkaitan dengan perasaan aku sendiri ke seseorang tersebut." Bujang mulai beraksi, membela diri.
"Ya sudah kalau begitu, kamu coba temukan saja jawabannya sendiri. Kan kamu sendiri yang jelas merasakannya, apapun perasaanmu itu." Jawabku dari versi yang mencoba sedikit mengalah saja.
"Eh tapi.. tadi tuh apa hubungannya dengan Rahman Rahiim ya?! aku belum ngerti." Bujang unjuk gigi lagi, aku kira tadi sudah cukup sampai di situ sesi tanya jawabnya.
"Kalau aku yang berada di posisimu saat itu, aku akan jawab ya. Aku akan bilang sayang, bahwa aku memang menyayanginya."
"Urusan tentang sayang aku itu seperti apa, akan bagaimana dan hingga sampai kapan, itu urusan belakangan."
"Toh bagian terpentingnya adalah aku belajar untuk berikhtiar, mengasihi menyayangi tanpa aku harus merasa grogi sendiri. Mengenai berjodoh atau tidaknya, itu kan urusan nanti setelahnya dijalani menjalani takdir diri, sebagai salah seorang insani yang tinggal di muka bumi ini."
Bujang terdiam, entah apa yang terbesit di pikirannya, aku tidak mau cari tau. Semua kawanku juga ikut terdiam, entah apa yang ada di pikiran mereka, aku pun tidak ingin tau.
Aku juga jadi ikut-ikutan diam, toh memang semuanya juga duduk dan terdiam. Masa iya sih aku bicara sendirian, toh belum tentu yang lainnya juga masih mau mendengarkan ocehanku, yang bunyinya itu anggap saja nggak karuan.
Peracik Diksi
09 November 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI