Pagi yang biasa untuk hari yang semoga saja akan terbit luar biasa. Seperti biasa, hari senin adalah satu hari yang inginku tidak kemana-mana, cukup di rumah saja menemani Oena Biroe.
"Ayah! bangun dong, yuk shubuh berjamaah!" pintanya, putri semata wayangku.
"Ayah! hari ini aku masuk sekolah jam tujuh pagi, tapi aku masih kangen ayah. Aku ijin nggak masuk sekolah hari ini! bolehkah?" masih pintanya, semata wayangku.
"Sini nak, peluk ayah dulu deh!" pintaku kepadanya, semata wayangku.
"Yuk shubuh berjamaah, lalu setelahnya... sebelum kita berdua sarapan pagi, ayah punya sedikit cerita untuk Oena." Ujarku untuknya, yang tersenyum sungguh manisnya.
Kewajiban kami tunaikan, kebutuhan kami berdua segerakan. Untuk kemudian aku merasa lebih segar dan tenang. Untuk kemudian juga, aku akan berbagi cerita dengan anakku yang meminta sesuatu hari ini.
"Cantik... Satu minggu itu ada berapa hari sih?"
"Tujuh hari ayah."
"Hari apa saja sih?"
"Senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu lalu minggu."
"Hari ini, Oena masuk sekolah jam berapa ya?"
"Jam tujuh pagi, ayah."
"Oh ya, Oena suka nggak sih dengan angka tujuh?"
"Lumayan suka, karena Oena lebih suka angka delapan daripada angka tujuh."
"Nah nah nah, lho lho lho... memangnya ada apa dengan angka delapan?" Tanyaku kemudian.
"Ayah kan lahir di tanggal delapan. Angka delapan yang Oena nggak boleh lupa." Aku tersenyum, aku bersyukur, aku merasa sangat lega mendengar ucapannya, semata wayangku.
"Oh ya! ayah jadi ingat nih. Usia Oena sekarang berapa ya?"
"Tujuh tahun." Jawabnya singkat saja.
"Nah, berarti boleh dong kalau pagi ini... ayah mau sedikit bercerita tentang angka tujuh ya."
"Boleh ayah, boleh." Tuturnya yang mengiyakan, sembari mengangguk, pertanda setuju.
"Nak, ayah punya satu cerita. Anggap saja dongeng ya, versi ayahmu ini. Satu cerita yang memang ada hubungannya dengan angka tujuh."
"Lalu ayah?!" Tanyanya.
Alkisah tujuh tahun yang lalu, ada seorang bayi yang terlahir ke dunia ini. Seorang bayi perempuan, lucu dan sangat cantik.
Seiring berjalannya waktu, bayi itu bertumbuh menjadi seorang gadis kecil yang sangat periang. Punya beberapa teman bermain yang adalah anak-anak seumurannya.
Suatu hari, gadis kecil sempat dikejutkan oleh temannya yang baru berusia lima tahun, meski baru lima tahun... temannya sudah pandai calistung [membaca, menulis, berhitung].
"Hei, kamu belajar dari siapa? kamu pandai. Aku juga mau dong, bisa pandai juga seperti kamu." Tutur kata dari gadis kecil.
"Aku belajar dari ayah juga ibuku, yang memintaku untuk rajin belajar setiap hari." Jawabnya, teman gadis kecil.
"Gimana cara belajarnya? emang harus setiap hari?!" kembali gadis kecil bertanya.
"Nggak juga, hanya di waktu tertentu saja. Seringnya dari hari senin sampai jumat, dua kali belajar... jam tujuh sampai jam sembilan pagi, kemudian malamnya jam tujuh sampai jam sembilan malam." Penjelasan dari temannya gadis kecil.
"Nggak bosen belajar dari senin sampai jumat?!" tanyanya lagi dari gadis kecil.
"Nggak dong, kan hari sabtu juga minggu aku sering diajak ayah ibuku menikmati suasana liburan, tanpa harus belajar." Tutur temannya.
"Seru juga ya, aku juga mau. Biar bisa pandai juga seperti kamu." Ungkapan dari gadis kecil, yang tentu butuh supaya bisa pandai juga seperti temannya.
"Belajar itu penting, bermain juga penting, dan yang paling penting itu bisa ngatur waktu untuk hal-hal yang memang mesti didahulukan. Begitu kata ayah ibuku."
Oena... itu kalimat dari temannya gadis kecil, menurut pengalamannya selama menikmati waktu, untuk kapan harus belajar dan kapan saatnya bermain.
Oena... waktu untuk belajar temannya gadis kecil, hanya dua kali saja lho. Jam tujuh sampai jam sembilan pagi, jam tujuh sampai jam sembilan malam.
Oena... temannya gadis kecil, hanya belajar dua jam saja di dua waktu tersebut. Nggak lama, dan setelahnya cukup banyak waktu untuk bermain lalu istirahat.
"Ayah, terus gadis kecil itu jadinya gimana? pandai juga akhirnya?" Tanya Oena yang sepertinya ingin tahu lanjutannya.
"Oena... coba Oena bayangin kalau gadis kecil itu adalah Oena, yang sekarang udah sekolah dan berusia tujuh tahun." Jawabku untuk semata wayangku.
Oena tersenyum, menghampiriku, lalu memelukku. Satu pelukan hangat yang adalah jawaban, satu pelukan erat yang tak butuh dipertanyakan.
Salam Fiksiana
DS 02 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H