Sore hari yang cukup cerah. Sore hari yang memang ada jadwal pekerjaan yang harus saya jalankan. Sore hari yang memang sudah membuat kesepakatan dengan seseorang, untuk mengantarnya ke salah satu destinasi yang bernama kota sukabumi.
Oh ya, profesi saya adalah seorang sopir di satu tempat jasa travel. Baik itu untuk kebutuhan dalam kota, luar kota, bahkan bisa juga lintas provinsi. Menyenangkan sih, meski terkadang ada situasi-situasi yang diluar keinginan juga perkiraan.
Tepat pukul lima sore, rencana perjalanan Bandung-Sukabumi. Hanya tinggal menunggu calon penumpangnya saja datang ke tempat ini, sesuai kesepakatan kami, lalu menuju ke kota sukabumi akan langsung kami lakoni.
"Boy, siap-siap ya jam lima sore. Jadi berangkat ke sukabumi."Â Bos saya yang bilang.
"Baiklah bos, ready to go." Jawab saya yang sok British.
"Baiklah Boy, perpecto!"Â Ujar bos saya, yang sok Italiano.
Tak mesti menunggu lama, datang juga sang idola. Eh, maksud saya seseorang itu, yang mau ke sukabumi. Cantik, muda, menarik, tapi mohon maaf... tidak seksi, kan bukan mau jalan-jalan ke tempat hiburan.
"Sore cantik! Eh maaf, selamat sore maksudnya. Ibu kan yang mau ke sukabumi sore ini."Â Tanya saya dengan nada suara yang saya pelankan secukupnya.
"Iya Mas, betul. Tapi jangan panggil saya Ibu dong, saya masih muda lho Mas." Jawabnya, dengan suara yang cukup pelan juga.
"Oh ya, maaf-maaf. Tapi... jangan panggil saya Mas ah, panggil bapak saja. Saya sudah bapak-bapak lho."
"Asyik nih! Sok akrab, sok lucu. Seru juga, menarik."Â Nona cantik kembali berceloteh.
"Iya dong, saya kan driver yang akan menemani nona cantik ke sukabumi."
"Oh, jadi anda sopirnya. Anda yang akan berdua dengan saya ke sukabumi?! Hmmm, hmmm, hmmm!"
"Kenapa? Kok ada hmmm?" Saya jadi penasaran nih.
"Nggak apa-apa pak, pokoknya hmmm, hmmm, hmmm. Oh ya, panggil saja saya Desy, tapi bukan Ibu Dessy Ratnasari ya." Ujar nona cantik kemudian, yang ternyata bernama Desy.
"Oh, Desy toh namanya. Baiklah non Desy, kita langsung tancap gas saja. Sudah tidak perlu pemanasan dulu kan ya?"
"Nggak ah, tanpa non ah. Panggil Desy saja, lebih enak rasanya. Ya sudah, yuk berangkat."
"Baiklah, siap laksanakan." Saya mengiyakan, dan kami pun siap-siap menuju ke kota sukabumi.
Seorang wanita muda yang menarik, tidak kaku, enak juga diajak ngobrol. Sepertinya, kesempatan mengunjungi sukabumi kali ini akan menjadi salah satu perjalanan yang akan sangat menyenangkan.
"Bos, saya berangkat ya ke sukabumi." Ijin dulu, menemani yang cantik.
"Ok Boy, be careful lho dengan yang cantik-cantik." Pak bos menitipkan pesan khusus untuk saya.
"Baiklah bos, i will survive! Hehehe."Â Senyum-senyum sendiri saya, dan sangat siap menuju sukabumi.
"Baiklah Boy. Oh ya, i will survive judul lagu The Cake itu kan ya?"
"Hehehe, iya sih bos. Anda benar!" Jawab saya berikutnya. Kami berdua tertawa secukupnya, sesuai takarannya. Lalu perjalanan menuju sukabumi siap ditunaikan, dengan dia nona cantik bernama Desy yang tidak ada Ratna nya.
Perjalanan dimulai, hanya berdua, saya dan Desy. Sepanjang perjalanan, cukup banyak hal yang kami berdua perbincangkan. Durasi sekitar empat jam perjalanan, tidak terasa terlalu lama, dan akhirnya kami berdua tiba di tempat yang jadi tujuan pemberhentian.
"Alhamdulillah, sampai juga kita. Ayo pak Boy, ikut masuk saja." Ajak Desy.
"Nggak ah, saya tunggu disini saja. Sekalian terlelap sebentar, kan kita nggak nginap."Â Jawab saya.
Berangkat jam lima sore, sekitar jam sembilan malam sampai ke tujuan, dan rencananya kurang lebih jam 11 malam, kami akan langsung pulang lagi ke Bandung.
Saya lebih memilih istirahat di mobil, karena seorang driver kan harus fit. Masa nyetir mobil sambil ngantuk-ngantuk, bawa customer pula. Seseorang yang cantik dan muda pula yang saya bawa dan temani, harus dijaga baik-baik dong tentunya.
"Pak Boy, bangun sebentar."Â Ada suara yang memanggil, ada tangan yang menyentuh dan menggerakkan salah satu bagian tubuh saya.
"Eh maaf-maaf, nyenyak tidurnya."
"Nggak apa-apa pak Boy. Saya cuma mau bilang, pak Boy jadinya pulang sendiri ke bandung. Saudara saya nggak mau sendirian, dia lagi butuh saya. Dia kehilangan calon istrinya, dia masih shock dan butuh seseorang berada di dekatnya. Sorry ya pak, jadi sendirian balik ke Bandung."
"Oh ya, baiklah."Â Jawab saya yang secukupnya.
"Saya sudah bayar full, sudah saya transfer. Terima kasih ya pak, maafkan juga, bapak jadi pulang sendirian ke bandung."
"Nggak apa-apa, justru saya yang berterima kasih. Saya cek mobil dulu, terus siap-siap balik bandung ya."
"Ok pak Boy, hati-hati ya. Saya masuk ke rumah ya, saudara saya sendirian."
"Silahkan Des, dan semoga segala sesuatunya baik-baik saja untuk saudaranya Desy."
"Aamiin pak Boy. Hatur nuhun, terima kasih ya pak."
Desy kembali ke dalam rumah, saya cek kendaraan, dan siap untuk pulang ke bandung dengan doa yang tentu saja selamat, sehat, hingga saya tiba di Bandung.
Perjalanan pulang baik-baik saja, meski saya sendirian. Tepatnya saat ini memang sudah memasuki waktu yang menunjukkan lebih dari jam dua belas malam. Jalan sepi tentunya, kebanyakan orang-orang pasti tengah terlelap tidur di ruangnya masing-masing.
Sambil mendengarkan musik, saya mencoba setenang mungkin membawa kendaraan, menikmati keadaan, dan berusaha senyaman mungkin membawa kendaraan.
Tidak jauh dari posisi saya yang tengah mengemudikan kendaraan, lampu sorot jarak jauh menangkap satu bayangan yang tengah berdiri di pinggir jalan.
Semakin dekat, semakin jelas terlihat. Ternyata tengah berdiri seorang perempuan, yang kemudian melambaikan tangannya, meminta saya untuk berhenti sebentar.
Saya perhatikan sekilas jam tangan saya, saya jelas-jelas melihat waktu yang kini hampir jam satu malam. Saya mikir dong tentunya, antara berhenti atau tancap gas saja sekalian.
Entahlah, saya ternyata memilih berhenti. Mendekatinya, mematikan mesin mobil, lalu membuka kaca mobil. Entah kenapa, bisa-bisanya saya memilih berhenti di jam segini, di tempat yang memang ada orangnya, tapi kan saya nggak tahu dia siapa dan punya niat apa ke saya.
"Terima kasih Mas, mau berhenti. Maaf mengganggu, saya cuma mau ikut ke depan. Saya mau ke pasar, sekali lagi mohon maaf."Â Bahasa yang terlalu sopan di sepinya dini hari.
"Oh, baiklah. Silahkan masuk ke mobil."Â Terlalu enteng omongan saya, langsung iya saja tanpa berpikir panjang.
"Terima kasih ya Mas."Â Ujarnya kemudian.
Gerangan seorang perempuan masuk ke dalam mobil, lalu mesin mobil kembali saya nyalakan. Perjalanan pulang menuju bandung saya lanjutkan, sekalian mengantarnya yang tadi bilang mau ikut ke depan, hendak ke pasar.
Normal adanya, dia diam, saya juga diam dong. Dia tersenyum, saya masih diam sih, takut disangka kegeeran. Di situasi seperti ini, diam adalah opsi yang terbaik.
"Mas, nggak apa-apa kan sambil ngobrol? Nggak lama kok, sebelum kita sampai di pasar." Pintanya gerangan.
"Oh, boleh-boleh. Oh ya, mumpung ingat nih. Kok jam segini ke pasar? Sendirian pula?"
"Seminggu lagi bakal ada resepsi pernikahan. Sedari sekarang disiapkan apa saja yang nanti akan dibutuhkan."Â Jawabnya gerangan.
"Tapi kan nggak harus sendirian, mungkin ada saudara atau keluarga yang bisa ikut bantu belanja ke pasar?"
"Nggak apa-apa Mas, sudah tiga hari terakhir ini memang saya sendirian."
"Lho kok! Memangnya kenapa? Memangnya tidak ada siapa-siapa?" Tanya saya yang mulai penasaran.
"Pernah ada, tapi sekarang sudah nggak." Jawabnya yang terlalu singkat.
"Baiklah, mohon maaf saya terlalu penasaran."
"Nggak apa-apa Mas. Oh ya, nama saya Marni, nama Mas siapa?" Tanyanya kemudian.
"Nama panggilan saya Boy, karena memang saya cowok panggilan, tugas saya antar jemput." Keluar jawaban nyeleneh dari saya yang sok ini.
"Mas, sebentar lagi kita sampai di pasar. Terima kasih ya." Penjelasannya yang selalu saja singkat.
"Baiklah, sama-sama." Saya jawab singkat juga, kan biar adil.
Benar ternyata, setelah keluar dari pertigaan, terlihat tempat yang cukup ramai akan banyak orang. Saya tengok jam, waktu menunjukkan pukul 01:45.
Gerangan, eh Marni namanya, keluar dari mobil. Tersenyum, dan memang tidak ada sedikitpun yang terkesan janggal dari dirinya. Menurut saya yang awam, "Everything is fine about Marni."
"Mas, titip pesan ini ya. Untuk Kang Teguh. Terima kasih Mas Boy." Ujar Marni.
"Woi, buruan! Parkir di depan dong, jangan menghalangi jalan."Â Kaget saya, ternyata ada kendaraan lain di belakang saya. Sopirnya teriak-teriak, padahal ini kan dini hari.
Kaget sebentar, lalu teringat pesan dari Marni. Tapi... saya lihat sekeliling, Marni nggak ada, begitupun pesan darinya, entah disimpan dimana. Keramaian yang tadi saya lihat menghilang, yang ada tinggal suasana yang kembali sepi.
Saya parkir sebentar di tempat yang lebih luas dan aman, lalu saya keluar dari mobil. Saya kembali perhatikan sekitar, yang ada hanya satu unit mobil lain yang sopirnya beberapa menit yang lalu,teriak-teriak.
"Mas bawa mobil sambil tidur ya. Pelan banget, saya klakson sedari tadi, nggak dengar ya."Â Sopir tadi menghampiri saya, namun kali ini nggak teriak-teriak sih.
"Masa sih pak, perasaan normal-normal saja. Malah saya sambil ngobrol dengan seorang perempuan yang tadi ikut numpang di mobil saya, namanya Marni." Jawab saya, yang tidak singkat-singkat amat.
"Marni ya namanya!" Ujarnya yang nampak seperti tengah mengingat seseorang.
"Iya pak, bahkan dia bilang titip pesan buat Kang Teguh, begitu katanya." Lanjutan pemaparan dari saya.
"Kang Teguh ya namanya."Â Lagi dan lagi, sepertinya bapak sopir ini tengah mencoba mengingat-ngingat akan dua nama tersebut.
"Waduh! Jangan-jangan Marni dan Kang Teguh itu. Mereka seminggu lagi mau melangsungkan syukuran pernikahan, namun sayang... Marni dipanggil yang maha kuasa, tiga hari yang lalu." Penjelasan dari bapak sopir.
"Kebetulan saya tinggal tidak jauh dari tempat mereka. Hanya beda RT/RW saja. Kalau memang itu benar Marni dan Kang Teguh yang dimaksud." Lanjutan penjelasan bapak sopir.
"Ya sudah Mas, hati-hati saja ya pulangnya. Maafkan saya, tadi teriak-teriak."
"Oh, nggak apa-apa. Terima kasih ya pak."Â Kalimat itu yang terucap dari mulut saya dengan otak yang tengah berpikir tentang semua ini.
Bapak sopir berlalu, menuju ke tempat yang akan jadi tujuannya. Kepala saya sih masih berkunang- kunang, teringat gerangan Marni juga Kang Teguh.
Saya kembali menuju mobil, kembali teringat akan pesan dari Marni untuk Kang Teguh. Saya coba mencarinya, sekalian saya ambil alat komunikasi saya. Eh ternyata, ada dua pesan dan tiga kali missed call.
Missed call dan chat atas nama Desy, dan satunya lagi pesan dari unknown number. Desy yang tadi saya antar ke tempat saudaranya yang sedang kehilangan.
Saya buka chat dari Desy, "Pak Boy, sudah sampai mana? Bisa balik lagi nggak ke tempat saudara saya? Saya harus bawa Teguh ke rumah sakit nih."
"Enk ink enk ini mah!"Â Gumam saya. Desy, Teguh, Marni, juga tentang tiga hari yang lalu, sepertinya ada hubungannya dengan semua ini.
Saya balas chat dari Desy. "Ok, saya balik lagi ke sana. Ke tempatnya Teguh. Maaf, saya telat balas."
"Ok Pak Boy, saya tunggu secepatnya."Â Ternyata Desy langsung jawab chat saya. Sepertinya ada hal urgent yang berhubungan dengan Teguh.
Lagi-lagi saya mencoba sejenak berpikir sebelum bertindak, menghela nafas dan jelas butuh secangkir kopi yang rasanya manis, atau teh manis juga boleh sih.
"Ini semua sungguh dilematis! Ketemu Desy yang muda dan cantik, tentu saja menyenangkan. Tapi... kalau ketemu lagi dengan Marni sepulang dia dari pasar, harus gimana dong?"Â Saya masih berupaya berpikir, mencoba menemukan jawaban yang tidak meragukan.
"Oh ya ya ya! Satu lagi nih! Satu lagi pesan yang belum saya baca, dari siapa ya?!"
Salam, DS 05/10/2020
"Cerpen yang terinspirasi, dari beberapa tutur Bung Nursalam AR"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H