Beranikah Moratorium?
Kota-nya para wali kini telah berubah. Kota yang hanya seluas 37.54 km2 itu, kini telah dibuat sesak dengan gedung perbelanjaan / pertokoan modern yang telah mencapai 17 nama.
Sementara, di tengah seukur jengkalan sempit ini, belum cukup membahas soal ekonomi kerakyatan saja. Tentu kita harus menyediakan ruang publiknya yang apik lan ramah bagiwong cilik. Namun, apa nyana. Ruang publik seperti taman krucuk atau gedung kesenian Nyi Mas Rarasantang terlihat ‘kurus’ dan lusuh lantaran diurusdengan setengah hati. Jangankan berusaha untuk mengatasi ‘bau pesing’ serta kesan angkernya yang menyengat, berkomitmen dalam meramaikan kegiatan di tempat itu saja seperti enggan. Mereka, -pemangku kebijakan- di kota ini sepertinya ‘gegar otak’. Apakah selalu begitu? Pembangunan fisik di kota ini begitu menjulang buta tak kompromi terhadap aturan. Meneruskan kebutaan pemimpin yang lalu, ataukah memang sama-sama buta?
Kini, inisiatif dan motif pembangunan Pemkot Cirebon dipertanyakan kembali oleh warganya sendiri. Terutama, soal program dan kebijakan yang akan membawa seisi kota ini. Menjadi pusat embrio ekonomi kerakyatan di timur Jawa Barat, atau menjadi contoh tambahan dari ketimpangan pembangunan daerah yang memihak para bohir? Jika analogi kedua yang dipilih, tentu akan menyisakan sekelumit cerita tentang bencana sosial ekonomi, ekologis dan budaya bagi generasi Caruban Nagari di masa depan. Sejarahmu, wahai pemimpin: dipertaruhkan di masa ini.
(Artikel ini berjudul asli Menggugat Pemerintah ''Berotak Beton" pada 13 Nov 2013 oleh  saya sendiri)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H