KOTA Cirebon beberapa tahun terakhir telah merupa menjadi metropolis baru di pesisir pantura yang gersang. Tapi sayang, pembangunan fisik yang ternyata menonjolkan kekhasan pembangunan perkotaan ini, mengesampingkan pertimbangan lain seperti aspek ekologi, sosial, hingga wahana ekonomi rakyat. Terkait mengenai ketiga hal ini, sepertinya Kota Cirebon sulit mengejawantahkan program pembangunan yang berpola ekonomi kerakyatan. Hal ini, salah satunya dapat dilihat dengan semakin banyaknya pembangunan mal (pusat perbelanjaan modern) di Kota Cirebon.
Kebijakan Pro Bohir
Pada kamis (07/11/2013) kemarin, gedung perbelanjaan modern: Lotte Mart yang terletak persis di depan kampus Unswagati, diresmikan. Aksi demonstrasi mahasiswa turut mewarnai hari perdana pembukaan mal tersebut. Para mahasiswa menuntut Pemkot membuat moratorium pembangunan mal dan minimarket sebagai komitmen untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan di Kota Cirebon (Harian Pikiran Rakyat). Penulis bersetuju dengan tuntutan mahasiswa.
Jika merunut kepada lokasi pendirian LotteMart, jelas-jelas pendirian ini telah melangkahi aturan yang berlaku. Karena, menurut hemat penulis proses pembangunan dan keberadaan mal tersebut akan berdampak secara lingkungan, sosial dan ekonomi. Padahal, dalam surat keputusan menteri negara lingkungan hidup No. Kep/48/MENLH/11/1996 dijelaskan bahwa batas kebisingan di lingkungan sekolah dan area pendidikan adalah sebesar 55 dBA, tak lebih!
Dengan adanya mal tersebut, tingkat kebisingan di daerah itu akan meningkat dikarenakan peralatan yang digunakan selama proses pembangunan menimbulkan kegaduhan. Setelah jadi, kebisingan itu semakin parah karena meningkatnya jumlah pengunjung yang mendatangi mal. Juga oleh kendaraan yang digunakan pengunjung maupun angkutan umum yang antri mencari penumpang. Keberadaan LotteMart, jelas akan memicu terjadinya kebisingan permanen di area tersebut. Dalam hal ini kampus Unswagati di sebelah barat, dan SMA/SMK serta sebuah masjid di sebelah timurnya. Dapat anda bayangkan betapa terganggunya aktifitas anak-anak anda yang bersekolah disitu.
Belum lagi, tingkat paparan debu dan emisi gas buang kendaraan yang semakin meningkat. Hal ini dipengaruhi karena trafik jumlah kendaraan yang melintas di perempatan jalan Pemuda dan jalan By Pass semakin padat. Hal ini dapat memicu timbulnya resiko penyakit ISPA. Ini belum mengabsen dampak psikologis pengguna jalan karena kemacetan, atau kerugian materiil warga akibat bencana banjir karena resapan airnya berkurang. Tidakkah pemerintah Kota Cirebon mempertimbangkan aspek-aspek ini dalam memberikan ijin?
Pada tahun 1982, pemerintah mengeluarkan UU soal lingkungan hidup. Dari sini, istilah analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) mulai dikenal. UU ini diatur kemudian dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1986, diganti menjadi PP Nomor 51 Tahun 1993, dan terakhir diganti lagi menjadi PP Nomor 27 Tahun 1999. Dalam PP itu disebutkan, Amdal merupakan kajian bagi dampak besar atau penting, suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan dalam suatu usaha atau kegiatan. Lalu yang menjadi pertanyaan penulis, beranikah Pemkot Cirebon mentransparansikan laporan-laporan Amdal tersebut ke muka publik?
Tentu pembaca masih ingat dengan peristiwa penyegelan minimarket di pasar perumnas pada tahun 2012 lalu oleh Satpol PP dengan alasan usaha dan gedungnya belum berijin. Namun, entah kenapa akhirnya minimarket tersebut kembali dibuka dan beroperasi.
Mungkin, Pemkot Cirebon perlu berkaca dari Bengkulu. Walikotanya Ahmad Kanedi sejak tahun 2011 telah resmi mengeluarkan kebijakan moratorium pembangunan mal baru di wilayahnya. Kebijakan ini akan berlaku sampai 2015 nanti. Alhasil, kini Bengkulu berhasil menjadi salah satu kota yang mengalami pertumbuhan ekonomi kreatif dan mikro yang pesat di pulau Sumatera.
Selain eksekutifnya, legislator Kota Cirebon tak ada salahnya meniru apa yang dilakukan oleh Komisi B DPRD Kota Bukittinggi yang mendorong Pemkotnya untuk menjadikan tahun 2013 ini sebagai program tahun ekonomi kerakyatan. Sekaligus membuktikan kepada Pemerintah Provinsi, Pusat bahwa Bukittinggi siap menjadi pusat percontohan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Mengingat, faktor-faktor pendukung seperti pertumbuhan koperasi, UKM, UMKM berhasil tumbuh dan berkembang sukses. (Harian Pos Metro Padang; 18 Januari 2013)
Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia Prof. H. Zaini Dahlan menyatakan ekonomi kerakyatan saat ini di berbagai daerah baru sebatas jargon. Penerapannya belum tampak karena sistem ekonomi di Indonesia masih berpihak kepada pemilik modal besar. Pendapat senada tentang pentingnya ekonomi kerakyatan dan keberpihakan pemerintah terhadap UMKM diutarakan mantan Presiden RI Jusuf Kalla dalam pidatonya di kantor Bank Indonesia Kota Cirebon, pada Kamis 19 September 2013 yang juga dihadiri oleh Walikota Cirebon (sumber: www.inilah.com). Ia menyatakan pola UMKM yang dikembangkan seluruh masyarakat adalah solusi untuk membangun ekonomi kerakyatan di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat dipastikan perlahan dapat meningkatkan ekonominya secara luas.