Mohon tunggu...
Awalus Shoim
Awalus Shoim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Merasakan, melihat dan berfikir.. Egosentris adalah nafsu dan ambisi, "Sosialita mungkin sebuah kebutuhan"!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenang Kembali KKN dan Desa Penari

23 September 2019   23:00 Diperbarui: 23 September 2019   23:10 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan "KKN hidup" itu saya dapatkan di masa transisi lulus SMA, kegagalan Umptn dan penantian bulan seleksi utopia akademi militer menjadikan saya membantu bapak untuk terlibat di usaha Tembakau di pelosok hutan gunung Pandan di kota B, diantara kota M dan Ng, sebuah wilayah Jawa timur bagian tengah dan  selatan. Wilayah suburnya dunia tarian dalam kemasan seni populer Tayub biasa disebut "Sindir atau Ledek", mungkin metatesis dari sindiran dan ledekan pada perilaku juga nasehat dari tembang yang dilantunkan.

Dalam jarak tempuh dari kota kecil kami saat itu  bisa 5-10 jam karena medan jalanan, hutan belantara dan transportasi yang susah, juga keberanian ojek kampung jika kami tak menggunakan truck atau sejenis motor trail. Sebuah daerah bernama Pragelan, Bladukan, Klino saya sisir bergantian, dalam wilayah kecamatan Sekar. Saya belajar menjadi tukang grading dan apraisal jenis tembakau dari petani pengepul atau terlibat kontrol proses perajangan (daun tembakau menjadi potongan serabut). Sebenarnya kami tinggal di rumah kepala dusun sekaligus mencukupi kebutuhan harian dan mandi cuci, namun saat  malam bapak memutuskan kami menginap di musolla tak terawat dan saat itu wilayah tersebut musolla hanya simbolisme pengakuan   keberagamaan, tak tersentuh tangan, berdebu dan  sarang laba-laba, kami perbaiki mulai dari bangunan fisik, penerang petromak, alquran juz amma tikar dan ruangan wudhu (dan disini kiprah dan iman saya  di uji). Terbukti itu   dilakukan bapak demi  menjaga imunitas  dirinya dan putranya yang beranjak dewasa. Karena saya berinteraksi dan merasakan suasana kampung penari termasuk sang primadona putra pak Kamituo (kepala dusun) sebut namanya Embun (16 tahun ) mewarisi kemampuan juga paras dari ibunya yang pesinden.

Satu lagi kawan SMPnya Embun, biasa di panggil Anggun, tinggal tak jauh di ujung Lepen (daerah aliran sungai). Mereka berdua seusia setidaknya saat itu saya menapaki 18 tahun, yang punya naluri ketertarikan plus aura gadis gunung penari itu.

Melihat karakter, budaya, dan cita cita gadis desa sebuah elegi eksistensial. Dan saya menikmati perkenalan intens dengan mereka di pagi dan sore hari sebagai remaja seusia. Namun di malam hari mereka bertarung dalam perjuangan hidup dunia dewasa dengan menebar eksotisme sensualitas genital sekaligus penuangan ekspresi seni dan harapan masa depan pendidikannya.

Sisi lain saya mendapatkan banyak peluang kedekatan "pesona anak kota" yang  memegang amanah keuangan dari bapak mungkin senilai naik haji saat itu tiap seminggu atau dua minggu, bayangkan kesempatan dan hari-hari "kuliah kerja nyata" hidup sudah saya dapat bahkan kerlingan jinak-jinak merpati para gadis penari dalam kiprah kerja nyata.

Dan memang desa penari itu ada nyatanya.  KKN perlu dihadirkan kembali pada para milenialis hippies dalam menguji keberlangsungan generasi, karena di sana akan berjumpa keindahan dan  sensasinya.

#Gong

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun