Jagat sosial media dalam dua pekan terakhir diramaikan oleh viral dan kisah sebuah kampung desa penari dan KKN , betapa banyak respon dan tanggapan, termasuk pernak pernik testimoni mistisnya dan aneka bumbu kisah pelengkap.Bagaimana respon warganet dan berbagai sudut versi kampung  penari, para nara sumber dengan aneka sudut  pandangnya, dan merasa akurasi kisah "KKN" adalah sudut versi tersebut.
Tagar itu  terus menjadi topik bahasan hingga tulisan ini dibuat, bahkan terbaru di Gramedia telah terbit  buku KKN Desa Penari, terbitan Bukune  oleh Simpleman.
("Saat motor melaju kencang menembus hutan, Widya mendengar tabuhan gamelan. Suaranya mendayu-dayu dan terasa semakin dekat. Tiba-tiba Widya melihat sesosok manusia tengah menelungkup seakan memasang pose menari. Ia berlenggak-lenggok mengikuti irama musik gamelan yang ditabuh cepat.
Siapa yang menari di malam gulita seperti ini? Tiga puluh menit berlalu, dan atap rumah terlihat samar-samar dengan cahaya yang meski temaram bisa dilihat jelas oleh mata. "Mbak... kita sudah sampai di desa." ____________
Dari kisah yang menggemparkan dunia maya, KKN di Desa Penari kini diceritakan lewat lembar-lembar tulisan yang lebih rinci. Menuturkan kisah Widya, Nur, Ayu, Bima dan kawan-kawan dalam tugas KKN mereka di pelosok Banyuwangi")
Saya tak  berniat  mengulas dan  terlibat dalam aneka mistis dan  perdebatan kisah  maupun latar, tokoh dan tempat. Namun justu saya lebih tergelitik  dan terkesan pun terkenang mengenai KKN-kuliah kerja nyata  dan desa penarinya dalam alam akademis dan rona nyata kehidupan masyarakat kita. Â
Sebagai anak daerah diapit antara pesisir bengawan solo dan pesisir pantura tentu kami tak  asing dengan  yang  namanya seni tayuban, sindir  atau ledek. Sebuah kesenian yang  mulai ramai penikmat dan pemerhati dari jam  22.00 hingga dini hari, dalam alunan gamelan dan tembang oleh penari muda cantik  dan  tentunya menjadi kembang kampung dan idola.
KKN sebuah wujud  dari tridarma perguruan tinggi  yang paling riil dan berkesan sebagai  pengabdian masyarakat, selain menguji teks dan literasi akademis  di masyarakat juga sebagai konfirmasi eksistensi diri dan kesinambungan sebuah keteraturan dan ketepatan pranata sosial yang ada.
Hal menggelitik lain juga konsentrasi momentum aksi demo mahasiswa yang marak belakangan ini,  mungkin mereka butuh KKN-kuliah kerja nyata, karena "miskin" dari penuangan ekspresi dan kenyang dalam tahapan teks-teks mati, dan homonim KKN mahasiswa pada KKN-korupsi kolusi nepotisme, entah sebuah  kebetulan atau ada sudut signal lain.
Sebagai anak rantau dalam menempuh pendidikan di metropolis kota J dan T mendamba yang  namanya KKN yang menjadi sebuah harapan  puncak memori kenangan suksesi para kakak tentang perjalanan dan kebersamaan bersama kawan juga penghargaan dan pengakuan diri di masyarakat, berjumpa kepala desa, menginap dan eksotisme pelosok dengan vegetasi alamnya, tentunya pesona gadis desa dan gadis pak Sekdes.
KKN di wilayah motropolis nyata ditiadakan, dan sharing saya pada perjumpaan dengan pasangan hidup di kampus negeri kota D tak mengalami pernik yang namanya KKN.