Mohon tunggu...
Awaluddin Rao
Awaluddin Rao Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan

Berislam Bergembira

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memaknai Idul Adha di Tengah Pandemi

19 Juli 2021   21:35 Diperbarui: 5 September 2022   07:59 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba saya teringat dengan berbagai harapan yang pernah terucapkan setahun lalu; "semoga tahun depan, pandemi sudah tidak ada dan kita merayakan idul adha dengan penuh kegembiraan seperti sedia kala". 

Saya percaya tentu itu bukan hanya menjadi harapan saya saja pada tahun lalu, melainkan juga hadir lewat doa-doa kaum beriman di atas sajadah nya, juga pedagang-pedagang di jalanan, hingga barangkali sudah menjadi obrolan hangat di warung-warung kopi nan amat sederhana. 

Namun, ternyata sampai hari ini kita masih berperang melawan Covid 19. kendati demikian, mari kita coba maknai Idul Adha ini seindah mungkin, meski di tengah pandemi.

Semenjak terbenamnya matahari pada 9 Dzulhijjah, gema kalimat takbir berkumandang dimana-mana. Sejenak hati tersentak, lewat alunan nadanya yang indah, selalu ada perasaan yang berbeda terasa di hati, semacam ada sedikit dorongan bathin yang merasaan kebahagiaan ataupun kesedihan. 

Entah dorongan apa itu, tapi saya percaya bahwa kalimat pemujaan terhadap Tuhan itu amatlah besar dan di saat yang bersamaan menunjukkan betapa kecilnya kita.  

Akhirnya kita temukan lagi bahwa penghayatan takbir itu letaknya pada perasaan mengkerdilkan diri di hadapan Tuhan.

Suara takbir itu berkumandang lagi, kali ini tidak hanya satu malam satu hari saja. Kalimat itu akan kita kumandang dan dengarkan selama beberapa hari ke depan. 

Suara-suara itu tak hanya di dengar oleh mereka yang sehat saja, suara itu akan dihembuskan angin, masuk lewat jendela jendela rumah sakit, masuk ke kamar kamar mereka yang sedang terbaring. 

Tetesan air mata pun keluar, ingin rasanya berkumpul tapi tak kuat seperti dulu. Air mata itu keluar lagi, seraya mengucapkan "Andai dulu aku ......". 

Di sudut lain, seorang anak bingung mau kemana pulang karena tak punya rumah, begitu pula dengan mereka para pengemudi truk yang barangkali sampai saat ini masih di jalan, tak bisa menikmati gema kalimat takbir bersama keluarga tercintanya. 

Maka, pertama yang perlu kita maknai kali ini adalah bahwa hidup itu bukan hanya tentang kita, hal terpenting dari segalanya adalah mensyukuri segala yang di titipi oleh Tuhan hari ini sebaik mungkin.

10 Dzulhijjah itu telah tiba. Sapi dan kambing yang telah dibesarkan dengan penuh cinta itu, akhirnya akan disembelih juga. dagingnya akan di nikmati oleh semua kalangan. 

Mereka yang tidak pernah mencicipi nikmatnya rendang padang, pada hari itu akan menikmatinya. Ternyata berislam itu sederhana, lewat Idul Adha ia ajarkan kita bahwa pokok dari ajaran itu adalah menggembirakan orang lain. 

Lidah-lidah yang setiap hari makan ikan asin dan mie instan itu akan merasakan kenikmatan di hari raya kurban itu, lalu apakah kita masih mempunyai alasan untuk menyakiti hati orang lain? Sedangkan berbagai ajaran agama itu memberi pesan agar kita senantiasa membahagiakan orang lain.

Di tengah-tengah pandemi yang tak kunjung usai, sebisa mungkin kita memetik hikmah dari berbagai hal yang terjadi.

Haji tahun ini pun di batasi, di siaran televisi kita lihat, bahkan untuk sholat berjama'ah pun mesti dikasih jarak, yang paling menyedihkan adalah saat banyaknya calon jama'ah haji yang gagal berangkat saat usianya pun terus bertambah. Salah satu hikmahnya adalah, agar kita tidak menganggap bahwa Tempat Tuhan adalah di Kakbah. 

Bangunan hitam itu sengaja tak diukir agar kita tidak menyembah menyembah dengang mengangungkan dan memberhalakannya. Kakbah hanyalah simbol, sebagai arah sholat umat Islam. 

Lantas, di manakah Tuhan? "Dan kepunyaan Allah lah timur ke barat. Maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. (Al Baqarah, 115). Jika kembali direnungi, sesungguhnya kepantasan untuk kecewa itu tidaklah ada. Bukankah kehendak Tuhan adalah kehendak terbaik? 

Dari Ibrahim kita belajar rendah hati, jika dibandingkan perkara ibadah, kita ini bukanlah apa apa dibandingkan nabi nan mulia itu yang berani mengorbankan anaknya. 

Darinya juga kita belajar soal menggembirakan kematian dan setiap perintah Tuhan. Saat hendak pergi ke tempat penyembelihan, ia di tanya istrinya tentang kemana ia akan pergi, Ibrahim pun menjawab dengan hendak bertamu (kepada Allah), tak sampai disitu anaknya pun dibedaki, diminyaki, didandani sebagus mungkin, amat banyak pelajaran, bahwa mengerjakan perintah Tuhan itu mesti menggembirakan. 

Lalu bagaimana dengan sholat, puasa dan ibadah lain kita hari ini? atau jangan jangan kita terus merasa terpaksa. Darinya juga kita belajar soal Keikhlasan dan bentuk Berserah Diri. 

Hanya untuk menjemput keridhoan Tuhan ia lakukan itu, tidak ada embel embel surga dan neraka disana, apalagi perkara duniawi. Sangat menyedihkan tentu dengan kita hari ini, yang beribadah selalu dengan alasan ingin surga di akhirat untuk menghindari neraka.

Benefit duniawinya ingin kaya karena sholat dhuha, pasangan yang cantik/tampan karena puasa, bahkan tak jarang untuk kepentingan pribadi yang bersifat duniawi. 

Adakah yang lebih indah dari seorang yang bangun di saat orang tidur, menyembah Tuhan di sepertiga malam yang diniatkan bukan untuk melunasi hutang, bukan untuk di kayakan, melainkan hanya alasan cinta dan ingin bermesraan dengan Tuhan. Maka, lagi lagi tertangkap pesan bahwa hadirkan Tuhan dalam setiap gerakmu.

Pandemi memang telah mengubah banyak hal. Tetapi ia tak akan bisa mengubah esensi dan makna dari Idul Adha, kita selalu diminta merenung, berusaha menjelajahi kedalaman diri kita kepada Tuhan. 

Sebab Idul Adha bukan lagi soal siapa yang paling bagus bajunya, tapi tentang siapa yang paling ikhlas dalam ibadah. 

Idul Adha itu bukan lagi soal selebrasi semata, ia ajarkan kita untuk menggembirakan sesama manusia. Pandemi atau bahkan penjara sekalipun tidak akan mengurangi semangat kita untuk menjemput panggilan Tuhan itu. Panggilan itu adalah panggilan kemenangan!

Tabik,
Awaluddin Rao.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun