Di sebuah perusahaan teknologi ternama di kota besar, aku, Dimas, seorang pria berusia 27 tahun bekerja sebagai analis data. Pekerjaan ini adalah mimpiku sejak lama, namun tak pernah kuduga bahwa hidupku akan menjadi lebih rumit, lebih berwarna, dan lebih membingungkan saat atasan baruku datang. Namanya Rina, perempuan berusia 32 tahun yang penuh wibawa. Ia cerdas, tegas, dan memiliki reputasi yang diakui banyak orang. Sebagai atasanku, dia memimpin tim dengan tangan dingin.
Aku ingat hari pertama dia masuk. Semua orang di timku langsung diam ketika Rina datang, langkah kakinya menggema di lantai kantor. Dengan sepatu hak tinggi, blazer hitamnya yang rapi, serta sorot mata yang tajam, ia seperti tak menyisakan ruang untuk kelemahan. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sadar bahwa dia bukan orang yang bisa dianggap remeh.
Satu bulan berlalu, hubunganku dengan Rina masih sepenuhnya profesional. Aku merasa tenang menjalankan tugasku tanpa masalah berarti. Namun, sesuatu berubah setelah kami mulai sering bekerja sama. Rina sering memintaku untuk bertemu di luar jam kerja, mengerjakan proyek-proyek penting yang membutuhkan diskusi panjang. Pada awalnya, semua terasa formal sampai pada suatu malam ketika kami harus lembur bersama.
"Dimas, kamu butuh kopi?" tawarnya saat aku mulai kelelahan. Kami satu-satunya orang yang tersisa di kantor saat itu.
"Boleh, Mbak Rina. Terima kasih," jawabku sambil tetap menatap layar komputer.
Rina berdiri dan berjalan ke pantry. Aku memandang punggungnya sekilas. Ada yang aneh dalam hatiku, perasaan hangat yang tak biasa saat aku memikirkan dirinya. Sebagai seorang bawahan, aku berusaha mengabaikan perasaan itu. Rina adalah atasanku, dia memiliki posisi yang jauh lebih tinggi dan jelas tak mungkin terjadi sesuatu di antara kami.
Namun, segalanya mulai berubah ketika kami semakin sering menghabiskan waktu bersama. Rina mulai membuka diri, tak lagi selalu tegas dan kaku. Dia bercerita tentang masa lalunya, tentang bagaimana ia berjuang keras mencapai posisi yang sekarang. Ia juga berbagi tentang kesepiannya, bagaimana dia sering kali merasa terisolasi sebagai perempuan yang harus memimpin di dunia yang didominasi pria.
Suatu malam, setelah bekerja lembur lagi, dia mengajakku makan malam di sebuah kafe kecil dekat kantor.
"Kita perlu istirahat sejenak. Bagaimana kalau makan malam dulu?" tanyanya sambil tersenyum kecil, senyuman yang jarang kutemui darinya.
Aku setuju dan kami pun pergi ke kafe tersebut. Suasana saat itu berbeda, terasa lebih santai, lebih akrab. Kami berbicara tentang hal-hal ringan, tak hanya tentang pekerjaan.