Matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung sekolah yang sudah berusia puluhan tahun. Suara lonceng terakhir telah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, tetapi Alana masih duduk di taman kecil di ujung lapangan. Dia memandang kosong ke arah langit senja yang mulai berubah warna, seolah mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikirannya.
"Alana!" terdengar suara lelaki memanggilnya dari kejauhan. Alana mengangkat wajahnya, menemukan Dion, teman sekelasnya, berlari kecil mendekatinya dengan napas yang sedikit terengah. "Aku sudah mencari ke mana-mana. Kamu tidak pulang?"
Alana tersenyum tipis, menepuk-nepuk rumput di sebelahnya, mengisyaratkan agar Dion duduk di sampingnya. "Aku hanya butuh waktu sendiri, Dion. Banyak hal yang harus kupikirkan."
Dion mengangguk mengerti. Mereka duduk berdua dalam diam, mendengarkan gemerisik angin yang menerpa dedaunan. Sesekali terdengar suara burung yang pulang ke sarangnya, menambah syahdu suasana senja di sekolah itu.
"Kamu memikirkan tentang beasiswa itu lagi?" Dion bertanya hati-hati. Dia tahu, beasiswa kuliah ke luar negeri adalah impian terbesar Alana, tetapi juga sumber kegelisahannya selama beberapa bulan terakhir.
Alana mengangguk pelan. "Aku takut, Dion. Takut kalau aku tidak cukup baik. Takut meninggalkan semua orang di sini. Dan..."
"Dan?" Dion mendorong Alana untuk melanjutkan.
"Dan aku takut kehilangan diriku sendiri," Alana mengakui. "Aku takut begitu sibuk mengejar impianku sampai lupa siapa aku sebenarnya."
Dion terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Alana. "Kamu tahu, aku pernah mendengar seseorang bilang, kita tidak pernah benar-benar kehilangan diri kita sendiri. Kita hanya berubah, bertumbuh, dan menemukan hal-hal baru tentang diri kita seiring waktu," Dion mencoba memberikan penghiburan.
"Tapi, bagaimana jika perubahan itu membuatku menjadi seseorang yang aku sendiri tidak kenal?" Alana menatap Dion dengan mata yang penuh dengan keraguan.