Di dunia yang semakin terhubung ini, sering kali kita menemukan fenomena di mana orang-orang tampak senang melihat keburukan atau kegagalan orang lain. Sering kali ini terjadi dalam bentuk gosip, berita negatif, atau komentar-komentar tajam di media sosial. Fenomena ini tidak hanya muncul di lingkup pergaulan sehari-hari, tetapi juga menjadi bahan konsumsi media massa yang seakan-akan tidak ada habisnya. Mengapa ada kecenderungan untuk menikmati keburukan atau penderitaan orang lain? Apakah ini merupakan sifat alami manusia, ataukah ada faktor lain yang mempengaruhinya?
1. Aspek Psikologis: Perasaan Superioritas dan Kepuasan Diri
Salah satu alasan mengapa orang senang melihat keburukan orang lain adalah karena munculnya perasaan superioritas atau lebih baik dari yang lain. Ketika seseorang mengetahui tentang kegagalan atau kesalahan orang lain, mereka sering merasa lebih baik dengan cara membandingkan diri mereka dengan individu tersebut. Ini adalah bentuk mekanisme pertahanan diri yang disebut dengan "downward social comparison" atau perbandingan sosial ke bawah. Dengan melihat orang lain dalam kondisi yang lebih buruk, seseorang mungkin merasa lebih puas dengan keadaan hidupnya sendiri. Hal ini memberikan rasa aman dan keyakinan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi masalah atau ketidakberuntungan.
2. Pengalihan dari Masalah Pribadi
Melihat keburukan orang lain juga dapat berfungsi sebagai bentuk pengalihan atau distraksi dari masalah pribadi. Manusia cenderung mencari hiburan atau pengalihan ketika mereka merasa stres, cemas, atau memiliki masalah yang tidak mudah diselesaikan. Menyaksikan atau mendengar tentang masalah orang lain dapat memberikan semacam kenyamanan sementara dan mengalihkan perhatian dari masalah yang mereka hadapi sendiri. Hal ini sering terjadi di media sosial, di mana konten negatif dan berita buruk lebih sering menjadi viral atau populer dibandingkan dengan konten yang positif. Orang yang merasa tidak bahagia dengan kehidupannya cenderung mencari cara untuk merasakan sedikit hiburan atau pengalihan, meski hanya sesaat.
3. Budaya Kompetisi dan Keberhasilan
Di dalam masyarakat yang sering kali mengukur nilai individu berdasarkan keberhasilan atau pencapaian, kegagalan seseorang bisa dianggap sebagai keuntungan bagi orang lain. Misalnya, dalam lingkungan kerja yang kompetitif, kegagalan satu orang bisa berarti kesempatan bagi orang lain untuk naik ke posisi yang lebih tinggi. Demikian pula, di media dan hiburan, skandal atau kesalahan selebriti sering kali menjadi bahan konsumsi publik yang menarik. Hal ini mencerminkan bagaimana budaya kompetisi bisa mendorong orang untuk menikmati keburukan orang lain karena secara tidak langsung, mereka melihatnya sebagai bagian dari "permainan" yang harus dimenangkan.
4. Efek Media Sosial dan Pengaruh Lingkungan
Media sosial memainkan peran besar dalam meningkatkan kecenderungan manusia untuk senang melihat keburukan orang lain. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram memungkinkan orang untuk dengan mudah membandingkan diri mereka dengan orang lain. Ketika seseorang melihat postingan tentang kehidupan yang tampaknya sempurna, ini bisa memicu rasa iri atau rendah diri. Namun, ketika mereka menemukan konten negatif atau tentang kegagalan orang lain, mereka mungkin merasa terhibur atau lebih baik tentang diri mereka sendiri. Lingkungan sosial yang mendukung dan sering mengonsumsi konten negatif ini pada akhirnya membentuk perilaku masyarakat.
5. Kesenangan dari Schadenfreude