Tanpa berpikir panjang, Jaka mengambil emas tersebut dan segera pulang ke rumah. Setibanya di rumah, ia menunjukkan harta tersebut kepada Siti. Siti terkejut melihat kekayaan yang tiba-tiba ada di depan matanya.
"Mas Jaka, dari mana semua ini?" tanya Siti dengan wajah cemas.
"Ini adalah hadiah dari Tuhan," jawab Jaka sambil tersenyum. "Akhirnya, kita akan hidup seperti Pak Wiryo!"
Sejak saat itu, kehidupan Jaka berubah. Ia mulai membangun rumah yang lebih besar, membeli sawah-sawah milik tetangga, dan hidup dengan kemewahan. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Jaka mulai kehilangan kesederhanaan dan kerendahan hati yang dulu ia miliki. Ia menjadi serakah, ingin lebih dan lebih lagi.
Suatu hari, ketika Jaka sedang duduk di beranda rumahnya yang baru, seorang pengemis tua datang menghampirinya. "Tuan, tolonglah saya. Saya lapar dan tidak punya apa-apa," kata pengemis itu dengan suara lirih.
Jaka menatap pengemis itu dengan mata sinis. "Pergilah dari sini! Aku tidak punya apa-apa untukmu," katanya dengan kasar.
Pengemis itu mengangguk lemah dan pergi dengan langkah tertatih. Namun, sebelum pergi, ia menoleh ke arah Jaka dan berkata, "Tuan, ingatlah bahwa nikmat Tuhan yang kau terima bisa diambil kembali kapan saja."
Malamnya, Jaka kembali bermimpi. Ia melihat lelaki tua bijaksana yang pernah ditemuinya. "Jaka, apakah kau merasa bahagia sekarang?"
Jaka mengangguk ragu. "Aku punya segalanya yang aku inginkan, tapi... mengapa aku merasa ada yang hilang?"
Lelaki tua itu tersenyum. "Karena kau lupa bersyukur, Jaka. Kekayaan dan kemewahan bisa memberikan kebahagiaan sementara, tapi tanpa rasa syukur, hatimu akan selalu merasa kurang."
Pagi harinya, Jaka terbangun dengan perasaan gelisah. Ia menyadari bahwa meskipun ia memiliki segala yang ia inginkan, hatinya tidak pernah merasa puas. Ia selalu merasa ada yang kurang, ada yang hilang.