Aji mulai mencoba untuk lebih mendengarkan hatinya. Ia mulai memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk bernapas, untuk merasa, dan untuk menjadi. Meski tetap membantu orang tuanya di ladang, Aji mulai menyisihkan waktu untuk melakukan hal-hal yang ia sukai, seperti membaca dan menulis. Ia menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana, seperti duduk di bawah pohon sambil menikmati hembusan angin, atau mendengarkan suara burung berkicau di pagi hari.
Semakin lama, Aji merasa semakin merdeka. Ia mulai memahami bahwa kemerdekaan sejati bukanlah tentang melarikan diri dari tanggung jawab atau kewajiban, melainkan tentang bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan penerimaan. Ia tak lagi merasa tertekan oleh beban hidup, melainkan melihatnya sebagai bagian dari perjalanan yang harus dilalui.
Pada suatu hari, ketika sedang membaca di bawah pohon, Aji mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Pak Karman datang dengan senyum hangat di wajahnya.
"Aji, aku melihat perubahan dalam dirimu. Kamu sekarang tampak lebih tenang dan damai," kata Pak Karman sambil duduk di sampingnya.
Aji tersenyum. "Terima kasih, Pak. Saya mulai memahami apa yang Bapak katakan tentang kemerdekaan lahir batin. Saya merasa lebih merdeka sekarang, meski hidup saya tak banyak berubah."
Pak Karman menepuk pundak Aji dengan penuh kebanggaan. "Itulah inti dari kemerdekaan, Nak. Bukan tentang apa yang terjadi di luar sana, tapi tentang bagaimana kita meresponsnya di dalam sini," katanya sambil menunjuk dada Aji. "Jika kita bisa menerima hidup dengan lapang dada dan menjalani setiap hari dengan penuh kesadaran, maka kita sudah merdeka, apapun yang terjadi di luar sana."
Hari-hari berlalu, dan Aji semakin mantap menjalani hidupnya. Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri dan menerima hidup apa adanya. Ia tak lagi merasa terbelenggu oleh kewajiban atau tuntutan hidup, melainkan melihatnya sebagai bagian dari perjalanan yang harus dilalui dengan penuh kesadaran dan penerimaan.
Pada suatu hari, saat desa mereka merayakan hari kemerdekaan, Aji diundang untuk memberikan pidato di depan warga desa. Dengan penuh keyakinan, ia berdiri di atas panggung dan mulai berbicara.
"Saudara-saudaraku, kemerdekaan yang kita rayakan hari ini bukan hanya tentang bebas dari penjajah, tapi juga tentang bagaimana kita bisa merdeka dalam diri kita sendiri. Kemerdekaan lahir batin adalah ketika kita bisa menerima hidup apa adanya, menjalani setiap hari dengan penuh kesadaran, dan tidak terikat oleh keinginan atau ketakutan."
Seluruh warga desa terdiam mendengarkan pidato Aji. Mereka melihat sosok pemuda yang dulu hanya dikenal sebagai anak petani miskin, kini telah menjadi pribadi yang bijak dan penuh keyakinan. Aji telah menemukan kemerdekaannya sendiri, dan melalui pidatonya, ia menginspirasi orang lain untuk menemukan kemerdekaan mereka masing-masing.
Ketika pidato itu selesai, seluruh warga desa berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah. Aji merasa haru dan bahagia. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, namun ia siap menghadapinya dengan hati yang penuh kedamaian dan keyakinan.