Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya di Balik Merah Putih

17 Agustus 2024   10:03 Diperbarui: 17 Agustus 2024   10:15 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Merapi, bendera merah putih berkibar gagah di halaman sekolah dasar yang sederhana. Hari itu adalah tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia. Desa itu sepi, namun selalu hidup dengan semangat juang dan kebanggaan akan tanah air.

Joko, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, duduk di tepi jalan dengan pandangan mata tertuju pada bendera yang berkibar. Ia tak pernah bosan menatap simbol kebanggaan bangsanya itu. Bagi Joko, merah putih bukan hanya sekedar kain yang berkibar, tetapi sebuah simbol perjuangan dan pengorbanan para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan.

"Kakek, apa yang sebenarnya terjadi pada 17 Agustus?" tanya Joko suatu hari ketika ia duduk bersama kakeknya, Pak Sastro, di beranda rumah.

Pak Sastro tersenyum, tatapannya menerawang ke masa lalu. "Pada 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Itu adalah hari yang sangat bersejarah, hari dimana kita terbebas dari penjajahan dan mulai berdiri sebagai bangsa yang merdeka."

Joko mengangguk, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya. "Kakek, apa yang terjadi sebelum kemerdekaan itu?"

Pak Sastro terdiam sejenak, seolah-olah mengumpulkan kekuatan untuk bercerita. "Sebelum kemerdekaan, kita hidup dalam penindasan. Banyak yang berjuang, banyak yang berkorban nyawa demi kebebasan kita. Kakek sendiri kehilangan banyak teman dalam perjuangan itu."

Joko tertegun mendengar cerita kakeknya. Di kepalanya, ia membayangkan para pejuang yang gagah berani melawan penjajah, meski dengan senjata yang seadanya. Hatinya bergetar, merasakan betapa besar pengorbanan yang telah diberikan oleh para pahlawan untuk kemerdekaan.

Hari itu, Joko memutuskan untuk melakukan sesuatu yang istimewa. Ia ingin merayakan kemerdekaan dengan cara yang berbeda, cara yang akan membuat kakeknya bangga. Setelah pulang dari sekolah, Joko segera menuju ke rumah dan mencari benda-benda yang mungkin bisa ia gunakan. Ia menemukan beberapa batang bambu di belakang rumah, serta kain putih dan merah yang sudah lama tak terpakai.

Dengan semangat yang berkobar, Joko mulai bekerja. Ia memotong kain menjadi bentuk persegi panjang dan menjahitnya dengan hati-hati. Di tengah-tengah kain putih itu, ia menggambar sebuah bintang dan garis-garis merah, simbol keberanian dan persatuan. Kain itu mungkin tidak sempurna, tetapi bagi Joko, itu adalah lambang cintanya pada Indonesia.

Malam itu, Joko tak bisa tidur. Ia terus membayangkan bagaimana perasaan kakeknya saat melihat bendera yang ia buat. Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, Joko sudah bangun dan segera menuju ke halaman rumah. Ia memanjat tiang bambu yang sudah dipersiapkannya dan mengikatkan bendera hasil karyanya sendiri.

Ketika matahari mulai terbit, Pak Sastro keluar dari rumah. Ia terkejut melihat bendera baru berkibar di halaman. Dengan langkah pelan, ia mendekati bendera itu dan memandangnya dengan mata berkaca-kaca.

"Joko, ini... ini luar biasa," ujar Pak Sastro dengan suara bergetar.

Joko tersenyum lebar, merasa bangga telah membuat kakeknya bahagia. "Kakek, ini bendera untuk kita. Untuk mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan dan betapa berharganya kemerdekaan ini."

Pak Sastro mengangguk, matanya masih terpaku pada bendera yang berkibar di angin pagi. "Kamu benar, Joko. Kemerdekaan ini bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja. Ini adalah hasil dari kerja keras, darah, dan air mata. Dan kita harus terus menjaganya."

Hari itu, seluruh desa berkumpul di lapangan untuk merayakan Hari Kemerdekaan. Anak-anak dan orang dewasa berdiri dengan khidmat, menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh semangat. Bendera hasil karya Joko berkibar di tengah-tengah mereka, menjadi simbol baru dari semangat juang yang tak pernah padam.

Setelah upacara selesai, Pak Sastro mengajak Joko berjalan-jalan mengelilingi desa. Mereka berbicara tentang masa lalu, tentang masa depan, dan tentang bagaimana mereka bisa berkontribusi untuk bangsa ini. Joko mendengarkan dengan seksama, menyimpan setiap kata kakeknya dalam hati.

Di perjalanan pulang, mereka melewati sebuah pohon beringin besar yang berdiri kokoh di tepi jalan. Pak Sastro berhenti sejenak, memandang pohon itu dengan penuh makna. "Joko, lihatlah pohon ini. Akar-akarnya kuat, menancap dalam ke bumi. Seperti itulah kita sebagai bangsa. Kita harus selalu ingat akan akar kita, akan sejarah kita, dan terus tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan besar."

Joko mengangguk. "Aku akan ingat, Kakek. Aku akan terus berjuang untuk Indonesia, sekecil apapun itu."

Pak Sastro tersenyum bangga. Ia tahu bahwa semangat juang yang dimiliki oleh generasi mudanya adalah harapan terbesar bagi masa depan bangsa ini. Hari kemerdekaan ini bukan hanya tentang mengingat masa lalu, tetapi juga tentang menanamkan semangat dan nilai-nilai perjuangan kepada generasi berikutnya.

Malam harinya, Joko duduk di kamar dengan sebuah buku di tangannya. Ia menulis tentang hari itu, tentang perasaannya, dan tentang impian-impiannya untuk Indonesia. Ia tahu bahwa suatu hari, ia akan menjadi bagian dari sejarah bangsa ini, seperti kakeknya dan para pahlawan lainnya.

"Indonesia adalah tanah airku, tempat aku dilahirkan, tempat aku tumbuh dan belajar tentang kehidupan. Aku akan selalu mencintai Indonesia, dan aku akan selalu berjuang untuknya," tulis Joko di akhir catatannya.

Di luar jendela, bendera merah putih masih berkibar dengan gagahnya, ditemani oleh bintang-bintang di langit malam. Bagi Joko, bendera itu bukan hanya sekadar simbol, tetapi sebuah janji. Janji untuk terus menjaga dan merawat kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Janji untuk selalu mencintai tanah air, Indonesia.

Dan di bawah bendera itu, di bawah cahaya bulan yang lembut, Joko merasa yakin bahwa masa depan Indonesia akan terus terang benderang, seperti cahaya yang selalu memancar dari bendera merah putih yang berkibar di angkasa.

Hari-hari setelah perayaan kemerdekaan di desa kecil itu diwarnai dengan semangat yang membara. Joko, yang semakin terinspirasi oleh kisah-kisah kakeknya, mulai lebih giat belajar tentang sejarah perjuangan bangsa. Ia sering menghabiskan waktu di perpustakaan desa, membaca buku-buku sejarah yang menceritakan tentang pertempuran, diplomasi, dan pengorbanan para pahlawan.

Namun, semangat itu tidak hanya berhenti di buku-buku. Joko merasa bahwa cinta tanah air harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Ia mulai mengorganisir teman-temannya untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi desa. Bersama-sama, mereka membersihkan jalan-jalan, membantu petani, dan mengadakan kegiatan kebersamaan di desa.

Pak Sastro, yang diam-diam memperhatikan cucunya, merasa bangga sekaligus terharu. Ia melihat semangat juang yang sama di mata Joko seperti yang ia lihat pada para pejuang di masa lalu. Semangat yang tak kenal lelah untuk berbuat baik dan membangun negeri.

Pada suatu hari, Pak Sastro memanggil Joko untuk duduk bersamanya di bawah pohon beringin tua, tempat di mana mereka sering berbicara tentang kehidupan dan sejarah. "Joko," katanya dengan suara lembut, "Aku ingin menceritakan sesuatu yang sangat penting."

Joko duduk dengan penuh perhatian, siap mendengar kisah baru dari kakeknya.

"Di masa lalu, ketika aku masih muda, aku pernah mengalami pertempuran besar. Pertempuran itu tidak hanya di medan perang, tapi juga di dalam diriku sendiri. Aku harus memutuskan apakah akan tetap tinggal dan berjuang, atau menyerah dan mencari jalan yang lebih mudah."

Joko tertegun, ini adalah cerita yang belum pernah ia dengar sebelumnya. "Apa yang kakek lakukan?" tanya Joko penasaran.

"Kakek memilih untuk berjuang," jawab Pak Sastro. "Tapi perjuangan itu tidak hanya dengan senjata. Perjuangan yang paling berat adalah melawan rasa takut dan putus asa di dalam diri kita. Banyak teman-teman kakek yang gugur, tapi mereka semua berjuang dengan penuh keberanian, karena mereka tahu bahwa kemerdekaan ini tidak boleh direnggut kembali."

Joko meresapi kata-kata kakeknya. Ia tahu bahwa perjuangan bukan hanya soal berperang, tapi juga tentang bagaimana kita menghadapi tantangan hidup dengan keberanian dan keteguhan hati.

"Kakek," kata Joko perlahan, "Aku juga ingin menjadi seperti para pahlawan itu. Aku ingin berbuat sesuatu yang besar untuk bangsa ini."

Pak Sastro tersenyum dan mengangguk. "Kamu sudah berada di jalan yang benar, Joko. Setiap tindakan kecil yang kamu lakukan untuk kebaikan, itu sudah menjadi bagian dari perjuanganmu. Dan ingatlah, perjuangan tidak harus selalu besar dan heroik. Kadang-kadang, perjuangan itu ada di hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari."

Hari itu, Joko merasa semakin yakin dengan jalan hidup yang ingin ia tempuh. Ia tidak perlu menjadi pahlawan besar yang dikenang dalam buku sejarah. Ia hanya perlu menjadi seseorang yang peduli dan berkontribusi bagi bangsanya, dengan cara apapun yang ia bisa.

Tahun-tahun berlalu, Joko tumbuh menjadi seorang pemuda yang dihormati di desanya. Ia melanjutkan pendidikannya dengan beasiswa yang ia dapatkan karena prestasi dan semangatnya yang luar biasa. Namun, meski telah mencapai banyak hal, Joko tidak pernah melupakan akarnya. Ia sering pulang ke desa untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan adik-adik dan teman-temannya.

Pada suatu hari, ketika Joko sedang berada di Jakarta untuk menghadiri sebuah acara, ia mendapat kabar bahwa kakeknya sakit keras. Tanpa pikir panjang, ia segera kembali ke desa.

Di rumah, Joko menemukan kakeknya terbaring lemah di tempat tidur. Pak Sastro tersenyum tipis saat melihat cucunya datang.

"Kakek, aku sudah di sini," kata Joko dengan suara bergetar.

Pak Sastro mengangguk pelan. "Joko, aku bangga padamu. Kamu telah menjadi sosok yang lebih besar dari yang aku bayangkan. Tapi ingat, perjuanganmu masih panjang."

Joko menggenggam tangan kakeknya dengan erat. "Aku akan terus berjuang, Kek. Untuk bangsa ini, untuk Indonesia."

Dengan tatapan penuh kasih sayang, Pak Sastro berkata, "Jadilah cahaya di balik bendera itu, Joko. Biarlah semangatmu menerangi jalan bagi orang-orang di sekitarmu."

Malam itu, di bawah bendera merah putih yang berkibar di halaman, Pak Sastro menghembuskan nafas terakhirnya. Joko merasakan duka yang mendalam, tapi juga rasa syukur yang tak terhingga. Kakeknya telah memberikan warisan yang tak ternilai, bukan harta benda, tetapi semangat juang dan cinta pada tanah air.

Setahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus, desa kecil itu kembali merayakan hari kemerdekaan. Kali ini, Joko yang berdiri di depan, memimpin upacara dengan penuh khidmat. Di dadanya tersemat medali penghargaan atas dedikasinya dalam pendidikan dan pengembangan desa.

Saat bendera merah putih dikibarkan, Joko merasakan kehangatan yang familiar di hatinya. Ia tahu, kakeknya ada di sana, di setiap kibaran bendera itu, di setiap langkah perjuangannya. Dan seperti yang selalu diajarkan kakeknya, Joko berjanji untuk terus menjadi cahaya yang menerangi, menjadi bagian dari perjuangan yang tak pernah padam, demi Indonesia tercinta.

Dengan mata yang berkaca-kaca, Joko memimpin lagu kebangsaan Indonesia Raya, suaranya lantang dan penuh semangat. Di langit biru yang cerah, bendera merah putih berkibar dengan gagahnya, membawa harapan dan impian seluruh bangsa.

Dan di bawah kibaran bendera itu, Joko tahu bahwa perjuangan ini akan terus berlanjut, dari generasi ke generasi, seperti cahaya yang tak pernah padam. Cahaya yang selalu ada di balik bendera merah putih, simbol dari semangat, cinta, dan kebanggaan akan tanah air yang merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun