Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Saya yang Kelaparan Saat Kuliah Selama 3 Hari, Pentingnya Rasa Empati dan Peduli dengan Sesama

15 Agustus 2024   10:02 Diperbarui: 15 Agustus 2024   16:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KOMPAS/HERYUNANTO

Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, saya pernah mengalami masa-masa yang tidak akan pernah saya lupakan. Sebagai seorang mahasiswa yang merantau jauh dari rumah, saya selalu berusaha mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri. 

Namun, ada saat-saat di mana keadaan tidak berpihak kepada saya, dan salah satunya adalah ketika saya harus berjuang melawan rasa lapar selama tiga hari berturut-turut. Ironisnya, di tengah keramaian kampus dan hiruk-pikuk mahasiswa lain, tidak ada satu pun yang tahu atau peduli dengan apa yang saya alami.

Awal dari Segalanya

Baca juga: Tiada yang Peduli

Kejadian ini bermula saat saya mengalami kesulitan keuangan yang cukup parah. Saya waktu itu masih semester pertama, sehingga belum banyak kenalan. 

Orang tua saya sudah meninggal sejak saya masih usia 6 tahun, jadi yatim piatu sejak kecil. Selama pendidikan SD sampai SMA, saya tinggal dengan Paman di desa. 

Ketika saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Paman telah mengingatkan saya kalau saya kuliah, beliau tidak mampu membiayai karena selain keluarga Paman yang kategori miskin saat itu, beliau juga punya tanggungan anak 3 orang yang masih kecil-kecil. Saya memakluminya, dan saya bertekad saya harus kuliah apapun yang terjadi.

Untuk mengatasi kesulitan keuangan yang cukup parah itu, Saya mencoba untuk mencari pekerjaan paruh waktu, tetapi saat itu banyak mahasiswa yang juga mencari pekerjaan, sehingga persaingan menjadi sangat ketat.

Beberapa kali saya gagal mendapatkan pekerjaan, dan situasi semakin memburuk. Tabungan saya menipis, dan akhirnya habis sama sekali. Tanpa ada uang, saya mulai mengurangi porsi makan hingga pada akhirnya tidak ada lagi yang bisa dimakan.

Ilustrasi (sumber gambar:https://seriau.com)
Ilustrasi (sumber gambar:https://seriau.com)

Hari Pertama: Bertahan dengan Air

Hari pertama saya tanpa makanan adalah hari yang penuh dengan ketidakpastian. Saya masih bisa menghadapi situasi dengan optimisme, berpikir bahwa mungkin esok hari keadaan akan membaik.

Sepanjang hari, saya hanya mengandalkan air putih untuk mengisi perut yang kosong. Saya mencoba mengalihkan rasa lapar dengan belajar, tetapi sulit untuk berkonsentrasi ketika perut terus merintih.

Saya juga merasa malu untuk meminta bantuan kepada teman-teman saya. Di satu sisi, saya tidak ingin mereka tahu bahwa saya sedang kesulitan.

Di sisi lain, saya merasa bahwa meminta bantuan adalah tanda kelemahan, padahal seharusnya saya bisa mandiri. Perasaan terjebak antara harga diri dan kebutuhan ini membuat saya semakin terpuruk.

Hari Kedua: Rasa Lapar yang Tak Tertahankan

Ketika hari kedua tiba, rasa lapar mulai menjadi siksaan yang tidak tertahankan. Kepala saya mulai pusing, dan tubuh terasa lemas. Kuliah yang biasanya saya ikuti dengan penuh semangat kini terasa seperti beban berat yang harus saya pikul.

Saya duduk di kelas, mendengarkan dosen, tetapi sulit untuk benar-benar memahami apa yang disampaikan. Fokus saya terus-menerus teralihkan oleh rasa lapar yang semakin menggila.

Di sekitar saya, teman-teman sekelas tampak begitu normal, mereka bercanda, tertawa, dan berbicara tentang hal-hal ringan. Mereka tidak menyadari bahwa di tengah-tengah mereka ada seorang teman yang sedang berjuang hanya untuk tetap sadar.

Saya mulai merasa terasing, seperti berada di dunia yang berbeda dengan mereka. Ironisnya, saya merasa begitu dekat dengan mereka, tetapi sekaligus begitu jauh.

Hari Ketiga: Puncak Kesengsaraan

Pada hari ketiga, saya mencapai titik di mana tubuh saya hampir tidak mampu berfungsi lagi. Bangun dari tempat tidur di pagi hari adalah tantangan besar. Saya merasa sangat lemas dan hampir tidak bisa berdiri. Setiap langkah yang saya ambil terasa berat, dan saya mulai merasa pingsan.

Meski begitu, saya masih berusaha untuk tetap hadir di kampus. Saya tidak ingin absen, karena khawatir hal itu akan berdampak pada nilai saya. Namun, di tengah-tengah kuliah, saya mulai merasa sangat pusing dan penglihatan saya mulai kabur. Saya tahu bahwa jika saya tidak makan segera, saya mungkin akan jatuh pingsan. Tapi tetap saja, saya tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun.

Sepanjang hari, saya berusaha menghindari kontak mata dengan orang lain, karena saya takut mereka akan melihat keadaan saya yang menyedihkan. Pada saat itu, saya merasa benar-benar sendirian. Saya mulai meragukan eksistensi saya sendiri, bertanya-tanya apakah ada yang peduli jika saya tiba-tiba menghilang.

Hari Keempat: Bertemu dengan Orang Baik.

Kebetulan hari itu hari Minggu, semalaman saya tidak tidur karena kelaparan. Saya hanya minum air putih, Selesai shalat shubuh saya berjalan-jalan di jalan utama menuju ke arah pusat kota Banda Aceh. Hari ini saya bertekad harus dapat pekerjaan. 

Sepanjang jalan, saya memeriksa tong sampah demi melihat nasi sisa orang semalam. Setelah memeriksa beberapa tong sampah, terlihat satu kotak nasi, nampaknya memang sengaja di buang oleh seseorang semalam. Tanpa pikir panjang, saya duduk di trotoar jalan langsung saya santap, walaupun nasi agak sudah basi.

Selesai makan, saya melanjutkan perjalanan ke arah kota. Setelah berjalan kurang lebih 2 Jam, saya melihat sebuah Doorsmeer yang baru di buka pagi itu. Saya memberanikan untuk meminta pekerjaan. Alhamdulillah, saya diterima untuk bekerja, dan sejak saat itu masalah kelaparan teratasi.

Refleksi: Ketidakpedulian atau Ketidaktahuan?

Pengalaman ini membuka mata saya akan dua hal yang sangat penting.

Pertama, bahwa sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan, dan tidak ada salahnya untuk meminta bantuan ketika kita membutuhkannya.

Kedua, saya menyadari betapa mudahnya bagi seseorang untuk merasa sendirian di tengah keramaian. Saya berada di kampus yang penuh dengan orang-orang, tetapi tidak ada satu pun yang tahu apa yang sedang saya alami.

Ketidakpedulian yang saya rasakan mungkin bukan karena orang-orang di sekitar saya tidak peduli, tetapi lebih karena mereka tidak tahu.

Kita sering kali terjebak dalam kehidupan kita sendiri, sibuk dengan masalah dan rutinitas sehari-hari, sehingga kita tidak menyadari bahwa ada orang di sekitar kita yang mungkin sedang berjuang dalam kesunyian.

Kesimpulan: Pentingnya Empati dan Solidaritas

Pengalaman ini mengajarkan saya betapa pentingnya empati dan solidaritas. Sebagai makhluk sosial, kita memiliki tanggung jawab untuk saling peduli satu sama lain. Kadang-kadang, hanya dengan bertanya "Apakah kamu baik-baik saja?" kita bisa membuat perbedaan besar dalam hidup seseorang.

Mungkin, jika ada seorang teman yang bertanya seperti itu kepada saya saat itu, saya akan merasa lebih baik, dan mungkin saya tidak akan merasa begitu sendirian.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa di dunia yang semakin individualistis ini, kita tidak boleh melupakan esensi kemanusiaan kita. Empati dan solidaritas bukanlah sesuatu yang seharusnya kita lupakan, tetapi justru harus kita pelihara dan kembangkan. 

Dengan begitu, kita bisa membangun lingkungan yang lebih peduli dan saling mendukung, sehingga tidak ada lagi yang harus merasakan kelaparan dan kesepian seperti yang pernah saya alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun